Kabut asap tutupi Dumai, karhutla tahun ini dikhawatirkan 'lebih buruk dari 2015 dan 2019'
WALHI mengatakan cuaca panas yang terjadi belakangan ini adalah “konsekuensi paling logis” dari situasi iklim yang semakin buruk,…
Pada akhir 2022 lalu, Menteri KLHK Siti Nurbaya telah mencetuskan instrumen pengendalian karhutla, antara lain dengan mengembangkan sistem pemantauan dan monitoring karhutla, melaksanakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)—khususnya untuk pembasahan gambut dan mengurangi hotspot pada provinsi rawan karhutla, melaksanakan patroli pengendalian karhutla, dan melaksanakan manajemen gambut.
Musim kemarau lebih kering, apakah karhutla akan bertambah parah?
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyebut karhutla sebagai satu kejadian ikutan dari “perubahan iklim yang semakin parah”.
Dia mengatakan cuaca panas yang terjadi belakangan ini adalah “konsekuensi paling logis” dari situasi iklim yang semakin buruk, yang juga “akan membuat kebakaran hutan dan lahan semakin masif”.
WALHI menilai langkah mitigasi yang diklaim pemerintah “sudah tidak cukup lagi” kalau akar permasalahannya tidak diselesaikan, yaitu evaluasi perizinan.
Langkah itu dinilai penting karena data WALHI menyebutkan “titik-titik api karhutla masif terjadi di wilayah-wilayah konsesi perusahaan”, baik di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun di konsesi perkebunan sawit.
Apalagi saat ini perubahan iklim membuat situasi semakin buruk.
“Kalau kemudian kita tidak kembali ke akar permasalahannya, maka kemudian pembakaran hutan dan lahan akan terus terjadi sepanjang tahun dan ketika gelombang panas datang, maka intensitas titik apinya akan semakin banyak dan mungkin bisa jadi akan lebih buruk ketimbang tahun 2015 atau 2019 yang lalu,” kata Uli Arta Siagian, kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/04).
Senada dengan WALHI, organisasi non-pemerintah Pantau Gambut juga mengatakan “cuaca memang sebagai faktor risiko”, tetapi tidak berdiri sendiri sebagai faktor yang meningkatkan atau memperpatah karhutla, kata Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana.
“Faktor kerentanan kami ukur dari burned area atau lokasi eks terbakar, beberapa lokasi bahkan terbakar berulang lebih dari 1 kali. Faktor lahan gambut yang kemudian dibuka oleh perkebunan ataupun beralih fungsi juga meningkatkan kerentanan, kata Wahyu, Rabu (26/04)
Dalam rilisnya soal ancaman karhutla, Wahyu bahkan menyebut “pemerintah gagal memahami akar permasalahan karhutla”, akibatnya penanganan karhutla hanya berfokus pada pemadaman api tanpa menyentuh masalah substantif, yaitu kerusakan ekosistem gambut yang memperparah dampak kebakaran.
Tidak ada efek jera
Di samping ekspansi pemberian izin yang masif—tanpa dibarengi evaluasi— dan masalah kerusakan ekosistem, WALHI dan Pantau Gambut sama-sama menyebutkan penegakan hukum yang “tidak membuat efek jera” menjadi salah satu hal yang bisa memperburuk karhutla di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, bahkan di lokasi yang sama.
Pada 2017 lalu, warga mengajukan gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit (CLS) terhadap pemerintah atas karhutla di Kalimantan Tengah.
Penggugat meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang memitigasi karhutla, sampai membuat fasilitas kesehatan seperti rumah sakit paru dan sebagainya.
“Itu menang sampai kasasi, kemudian beberapa bulan yang lalu [November 2022] presiden bukannya melaksanakan perintah pengadilan untuk membuat kebijakan turunan mitigasi karhutla, membuat rumah sakit paru, mereka kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) dan kemudian [pemerintah] dimenangkan oleh MA,” kata Uli.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.