Sabtu, 4 Oktober 2025

Mengapa RUU Perampasan Aset penting di tengah terungkapnya kekayaan fantastis pegawai pemerintah?

Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali

Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali digaungkan. RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya bisa merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan”.

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus Rafael Alun sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.

“Karena undang-undangnya namanya asset recovery, berkaitan dengan aset hasil kejahatan, jadi semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik,” kata Yenti kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/03)

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan RUU itu diharapkan bisa membuat pengusutan perolehan harta seperti dalam kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak akan terulang di masa yang akan datang.

“Harapannya RUU Perampasan Aset bisa menjembatani norma illicit enrichment [kekayaan yang diperoleh dengan tidak sah] yang sebetulnya ada di UNCAC [Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi], tapi belum ada dalam undang-undang kita,” kata Lalola.

Saat ini, sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset bisa dilakukan jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalola mengatakan harus ada “pembuktian pidana asal”.

Dengan disahkannya RUU Perampasan Aset nantinya, tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan.

Sebab, dikutip dari naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan.

Misalnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya.

“Kalau ada harta-harta yang diduga berasal dari kejahatan, dugaan tersebut, salah satunya kok tidak sesuai profil pendapatannya, atau tidak sesuai dengan besaran pajak yang disetorkan dan lain-lain, itu bisa jadi dianggap sebagai dugaan tindak pidana sehingga asetnya bisa diproses,” ujar Lalola.

RUU itu bahkan memungkinkan penegak hukum melakukan “gugatan terhadap barang” yang merupakan hasil kejahatan, yang pemiliknya “sedang hilang”.

“Jadi enggak ada cerita lagi mangkrak. Seperti di Kalimantan yang kemarin ada bekas PON sekarang mangkrak, padahal biayanya banyak, kalau tidak ketemu [orang terkait] disita oleh negara nanti dilelang supaya aset-aset itu bisa berguna, tetap ada nilainya, meskipun pengadilannya belum bisa selesai atau orangnya belum bisa ditangkap,” tutur Yenti.

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang dapat dirampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), maupun pegawai negeri sipil.

Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Halaman
123
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved