Kamis, 2 Oktober 2025

Viral ‘ciki ngebul’: Amankah nitrogen cair pada makanan?

Dinas Kesehatan Jawa Barat mengimbau masyarakat untuk “tidak dulu” mengonsumsi Chiki Kebul, menyusul dua kasus keracunan terkait…

Pada 2018, FDA memperingatkan konsumen dan pedagang tentang potensi luka parah akibat memakan, meminum, atau memegang produk makanan yang disiapkan dengan menambahkan nitrogen cair tak lama sebelum dikonsumsi “karena nitrogen cair mungkin belum sepenuhnya menguap ketika sampai ke konsumen atau menyebabkan temperatur produk sangat rendah sehingga berisiko menyebabkan luka”.

FDA menyarankan agar pedagang meminimalkan risiko nitrogen cair tidak sengaja tertelan atau menyentuh kulit, antara lain dengan menerapkan prosedur dan pelatihan pada pegawai yang menangani nitrogen cair dan memberi peringatan kepada konsumen di area tempat nitrogen cair digunakan untuk menyiapkan makanan.

Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) nitrogen cair dengan jelas mengatakan bahwa orang yang menangani nitrogen cair harus mengenakan sarung tangan, sepatu pelindung, dan kaca mata demi mencegah kulit melepuh dan iritasi mata. Bahan tersebut juga harus disimpan dalam wadah khusus yaitu tabung bertekanan tinggi.

“Jelas sekali di material safety data sheet (LDKB) bahwa ini hazardous, sangat berbahaya, dan perlu penanganan yang hati-hati dan enggak boleh di gunakan secara sembarangan. Apalagi kita lihat di tukang jajanan itu nggak pakai alat pelindung diri,  kemudian untuk diberikan ke jajanan yang dikonsumsi langsung itu sebenarnya sudah jelas bahayanya,” kata Kurnia Ramadhan, pakar teknik pangan dari Universitas Bakrie.

Namun demikian, nitrogen cair tampaknya masih bisa dibeli dengan bebas oleh pedagang kaki lima. Bahkan, ia tersedia di toko-toko online.

Siapa yang bertanggung jawab mengawasi jajanan anak?

Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menerangkan bahwa pengawasan makanan siap saji menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui dinas kesehatan. Namun, menurutnya, pengawasan belum efektif karena komitmen dari Pemda berbeda-beda.

“Badan POM itu bisa melakukan pengujian makanan jajanan tapi dia tidak bisa mem-follow up dari temuan-temuan pengujian tadi. Kemudian dari temuan badan pom itu diserahkan ke Pemda, cuma [Badan POM] mengeluh karena hanya sekitar 10% pemda yang mem-follow up,” kata Sudaryatmo kepada BBC News Indonesia.

"Jadi memang di sini ada problem kelembagaan pengawasan pangan yang multi agensi, ada badan POM, ada Pemda, macam macam itu memang dalam kasus ini tidak efektif sebenarnya itu,” ia menambahkan.

Netty Prasetiyani, anggota DPR dari Komisi IX yang membawahi bidang kesehatan, telah meminta pemerintah melakukan pengawasan agar penggunaan nitrogen cair pada makanan tidak dilakukan secara sembarangan dan bebas.

"Pengawasan ini penting karena anak-anak tidak tahu dan tidak mengerti mana yang baik dan mana yang berbahaya bagi kesehatan. Anak-anak umumnya tertarik pada warna, bentuk atau keunikan makanan. Kita khawatir ada jenis jajanan lain yang juga mengandung zat berbahaya bagi tubuh," kata Netty dalam keterangan tertulis, Selasa (10/1).

Baca juga:

Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Jabar dr. Ryan Bayusantika mengatakan pihaknya telah mengimbau dinas kesehatan di Kabupaten/Kota untuk mengkaji kebijakan terkait pemantauan dan perizinan produk industri rumah tangga yang menggunakan nitrogen cair dalam pengolahan makanan.

Kemenkes juga telah meminta rumah sakit dan dinas kesehatan di daerah untuk melapor ke Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan jika menemukan kasus keracunan jajanan berasap akibat dicampur nitrogen cair.

Selain pengawasan, Sudaryatmo menekankan bahwa peningkatan kesadaran publik juga penting. Ia berpendapat orang tua dan sekolah mestinya lebih sadar terhadap makanan dan jajanan yang dipasarkan di lingkungan sekolah.

“Memang ada beberapa sekolah yang kantinnya itu sudah dilokalisir di dalam sekolah kemudian dia ada test food, tidak sembarang produk makanan bisa dipasarkan. Cuma ini masih sedikit … hanya beberapa sekolah yang perubahan kantinnya sudah sebagus itu,” ujarnya.

Senada, pakar teknik pangan Kurnia Ramadhan juga mengatakan bahwa edukasi tentang keamanan makanan di sekolah “masih kurang”. Menurutnya, selama ini pendidikan di sekolah seringkali hanya seputar makanan bergizi, tetapi pendidikan tentang makanan yang aman masih kurang.

“Jarang diajarkan pentingnya memilih makanan yang aman [Padahal] itu jadi prasyarat, sebenarnya, bagaimana makanan itu layak dikonsumsi — aman dulu, baru bergizi,” ujarnya.

“Jadi jangan hanya edukasi seputar gizi tapi juga masalah keamanan ini mesti ditekankan betul betul sehingga di level konsumen pun punya filter, punya sudut pandang, bahwa 'oh ini harus betul-betul nih memilih jajanan itu yang aman’.”

‘Penghasilan menurun karena pelanggan takut’

Kevin Adriansyah mengaku sudah sekitar lima tahun berjualan “smockey snack” - nama lain dari Chikibul. Dia lama berjualan di Jakarta, mengisi acara-acara besar dan pernikahan, tetapi baru empat bulan di Kiaracondong, Bandung.

Pria berusia 20-an tahun itu mengatakan kontroversi seputar chikibul telah menurunkan pendapatannya.

“Soalnya biasanya dari hari-hari biasa untuk penghasilan smockey sendiri tuh bisa sampai 100 cup per hari atau 80 cup, kalau sekarang kan per hari cuma lima atau tiga karena kebanyakannya takut. Dari orang tua sendiri saat anaknya pengin beli, ‘jangan itu beracun’,” katanya kepada wartawan di Bandung, Yulia Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Juga menggunakan nitrogen cair, Kevin merasa “kena imbasnya” pedagang-pedagang lain yang tidak mengikuti standar keamanan.

“Disangkanya kita sama. Padahal kita nitrogen murni.  Tabungnya khusus.  Kan kebanyakan yang di pinggir jalan pada pakai termos dulu, jadi di dalam termos ngambilnya,” ujarnya.

Kevin mengklaim bahwa selama lima tahun dia berjualan, belum pernah ada kasus. Malah, pelanggan yang rumahnya jauh rela datang lagi demi merasakan sensasi asap dari jajanan itu.

Kevin mengatakan dia menghabiskan Rp1,5 juta untuk isi ulang nitrogen di daerah Caringin – Rp2,5 juta bila dengan tabungnya. Untuk membeli nitrogen cair, dia harus menyimpan deposit Rp5 juta.

Kevin berkata dia mendapatkan “artikel” dari si penjual, yang menjelaskan bahaya nitrogen cair.

“Berbahaya itu kalau masih ada airnya, liquidnya masih banyak.  Biar enggak berbahaya, harus sampai uapnya aja yang ada.  Liquidnya jangan, soalnya bisa berbahaya buat usus,” ia menjelaskan.

Untuk memastikan keamanan, dia memastikan tidak ada sisa genangan nitrogen cair sebelum makanannya dagangannya sampai ke konsumen. Caranya, dia masukkan penganan (chiki) ke dalam wadah lalu dia siram dengan nitrogen cair dan kocok-kocok sampai semua cairannya menguap.

“Kalau kita ngocoknya lama, jadi menyerap (ke chiki). Jadi asapnya aja yang dijual,” kata Kevin.

Kevin berharap pihak berwenang tidak sama sekali melarang penggunaan nitrogen cair untuk makanan, namun “lebih selektif” sehingga tidak turut menghukum pedagang seperti dirinya yang merasa sudah menerapkan standar keamanan.

“Kalau bisa dipilih penjual smockey snack kayak yg di pinggir jalan, cari tahu dulu dari mana dapat bahan bakunya.  Ada perizinannya atau enggak, terus berapa harganya.  Soalnya dampaknya kelihatan.  Kita yang dari dulu gak kenapa-kenapa, gak ada problem apapun, sekarang jadi kena imbasnya.”

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved