Jumat, 3 Oktober 2025

Setelah Sembilan Tahun Beroperasi di Mali, Tentara Prancis Akhirnya Ditarik Mundur

Prancis akan menarik militer dari Mali setelah lebih dari sembilan tahun melancarkan operasi melawan terorisme di negara itu.

Penulis: Ika Nur Cahyani
EMMANUEL MACRON / TWITTER / AFP
Pengambilan gambar ini diambil dari sebuah video yang dipublikasikan di akun twitter Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 7 Januari 2021 menunjukkan Presiden Prancis sedang menyampaikan pidato setelah pendukung Presiden AS Donald Trump menyerbu Capitol AS. Pemimpin Prancis Emmanuel Macron mengatakan: "Kami tidak akan menyerah pada kekerasan beberapa orang yang ingin mempertanyakan" demokrasi setelah pendukung Donald Trump melanggar Capitol AS beberapa jam sebelumnya. 

TRIBUNNEWS.COM - Prancis akan menarik militer dari Mali setelah lebih dari sembilan tahun melancarkan operasi melawan terorisme di negara itu.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengonfirmasinya pada Kamis (17/2/2022).

Ia menuduh pihak berwenang Mali mengabaikan perang melawan ekstremis dan menurutnya logis bagi Prancis untuk mundur.

"Saya sepenuhnya menolak istilah itu," jawab Macron saat ditanya apakah penarikan pasukan menandai kegagalan Prancis dan kebijakannya memerangi terorisme di Afrika barat.

Baca juga: Pengadaan Alutsista dari Prancis Termasuk Rafale Telah Ikutkan Industri Pertahanan Dalam Negeri

Baca juga: Bertemu Putin, Macron Tolak Tes PCR di Rusia Karena Takut DNA-nya Dicuri

Presiden Prancis Emmanuel Macron
Presiden Prancis Emmanuel Macron (AFP)

Dilansir The Guardian, Prancis mulai mengerahkan pasukan melawan militan di Mali pada 2013 di bawah kepemimpinan Presiden François Hollande. 

Intervensi dari negara Eropa ini berhasil membendung kemajuan pemberontak dan mengembalikan kota-kota utama seperti Timbuktu ke tangan pemerintah sipil.

Namun, kelompok ekstremis ini dengan cepat berkumpul dan kembali melakukan perlawanan.

Dalam beberapa tahun terakhir, para ekstremis mengambil alih sejumlah wilayah, mengeksploitasi gejolak politik, kemiskinan, dan kelemahan otoritas lokal.

Macron mengatakan pasukan Prancis akan tetap berada di wilayah itu, tetapi akan berbasis di negara tetangga, Niger.

Prancis akan tetap membantu negara-negara lain yang terdampak aktivitas para jihadis.

"Jantung dari operasi militer ini tidak lagi di Mali, tetapi di Niger dan mungkin dengan cara yang lebih seimbang di semua negara di kawasan yang menginginkan (bantuan) ini," katanya.

Niger juga bermasalah dengan aksi terorisme, seperti halnya Burkina Faso, di mana ribuan orang tewas dan lebih dari satu juta orang mengungsi dalam beberapa tahun terakhir.

Terlepas dari pernyataan Macron, pengamat melihat penarikan militer sebagai hal yang memalukan bagi misi luar negeri Prancis.

"Ini adalah akhir yang memalukan dari intervensi bersenjata yang dimulai dengan euforia dan yang berakhir, sembilan tahun kemudian, dengan latar belakang krisis antara Mali dan Prancis," tulis surat kabar harian Le Monde.

Sejak lama, para pembuat kebijakan di Paris dituding hanya fokus pada kekuatan militer dengan mengorbankan politik.

Hubungan antara Prancis dan Mali memburuk setelah dua kudeta dan keengganan rezim militer baru untuk menyetujui transisi langsung ke pemerintahan sipil.

Duta Besar Prancis untuk bekas jajahan itu diusir awal bulan ini.

Kehadiran tentara bayaran Rusia dari kelompok militer swasta Wagner telah meningkatkan ketegangan dengan Paris.

Uni Eropa juga menuduh rezim militer Mali menggunakan mereka untuk menopang kekuatannya.

Penarikan ini berlaku untuk 2.400 tentara Prancis di Mali dan beberapa ratus personel pasukan Eropa lainnya.

Sementara itu, sekitar 18.000 penjaga perdamaian PBB akan tetap berada di Mali.

Pasukan PBB dan ratusan personel dalam misi pelatihan EUTM dan EUCAP Uni Eropa mengandalkan pasukan Prancis untuk dukungan medis, udara, dan darurat.

Seorang pria memberi isyarat ketika orang-orang berkumpul di Nation square untuk merayakan dan mendukung militer Burkina Faso di Ouagadougou pada 24 Januari 2022. Tentara di Burkina Faso pada 24 Januari 2022 mengumumkan di televisi pemerintah bahwa mereka telah merebut kekuasaan di negara Afrika Barat itu setelah sebuah pemberontakan atas kegagalan presiden sipil untuk menahan pemberontakan Islam.
Seorang pria memberi isyarat ketika orang-orang berkumpul di Nation square untuk merayakan dan mendukung militer Burkina Faso di Ouagadougou pada 24 Januari 2022. Tentara di Burkina Faso pada 24 Januari 2022 mengumumkan di televisi pemerintah bahwa mereka telah merebut kekuasaan di negara Afrika Barat itu setelah sebuah pemberontakan atas kegagalan presiden sipil untuk menahan pemberontakan Islam. (AFP)

Baca juga: Prabowo Beli 42 Pesawat Tempur Dassault Rafale Cs dari Prancis: Ini Pro dan Kontranya

Baca juga: Alasan Pemerintah Bakal Hibahkan Vaksin Merah Putih ke Negara Afrika

Sekitar 300 tentara Inggris juga telah dikirim ke Mali.

Juru bicara militer Prancis, Pascal Ianni, mengatakan Paris akan melanjutkan dukungan itu selama pemerintah setempat mengizinkannya.

Dengan relokasi ke Niger dan reorganisasi militer yang didirikan di kawasan itu, Prancis dan sekutunya berharap bisa menghindari kekacauan seperti penarikan pasukan AS dari Afghanistan tahun lalu.

Masalah ini penting bagi Macron, yang diperkirakan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua dalam pemilihan presiden Prancis 10 April.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved