Krisis Myanmar
Siswa dan Guru Myanmar Boikot Sekolah: Takut Diserang Militer dan Tuntut Reformasi Sistem Pendidikan
Para siswa dan guru di Myanmar tidak hadir di sekolah karena takut diserang oleh militer. Mereka juga menuntut reformasi pada sistem pendidikan.
Pada bulan Juni, lebih dari 200.000 dari total 400.000 guru di Myanmar dilaporkan mogok kerja untuk bergabung dengan CDM.
Seorang anggota eksekutif dari Serikat Pendidikan Dasar, sebuah kelompok yang bekerja untuk mereformasi sistem pendidikan negara, mengatakan, militer telah menekan para guru untuk mengajar.
Akan tetapi banyak guru yang memilih mengundurkan diri, sedangkan sisanya tetap pergi ke sekolah.
"Militer telah menekan para guru untuk pergi ke sekolah dalam upaya untuk menutup Gerakan Pembangkangan Sipil," kata Min Htet yang memintanya nama asli tidak digunakan karena takut akan pembalasan.
"Banyak guru telah mengundurkan diri tetapi yang lain merasa mereka tidak punya pilihan selain pergi ke sekolah," tambahnya.
Baca juga: Wartawan AS Danny Fenster Dinyatakan Bersalah atas 3 Dakwaan, Dihukum Penjara 11 Tahun di Myanmar
Mereka yang tetap bekerja, tak luput dari kekerasan yang meningkat akibat kudeta.
Para guru yang tidak berpartisipasi dalam boikot telah menjadi sasaran kelompok-kelompok non-militer yang ekstrem karena dianggap mendukung junta.
Pekan lalu, seorang kepala sekolah di Mandalay ditembak mati saat berada di rumah, sementara pada 5 November seorang guru dari Yangon tewas saat berada di taksi dalam perjalanan ke sekolah.
Beberapa serangan telah diklaim oleh kelompok bersenjata yang menggunakan kekerasan untuk mencegah dukungan bagi militer.
Serangan 5 November, misalnya, diklaim oleh kelompok berbasis di Yangon bernama Angkatan Pertahanan Generasi Z yang menuduh bahwa guru tersebut telah mengancam siswa dan memberi informasi militer, dan oleh karena itu perlu dihentikan.
Banyak dari kelompok perlawanan ini mengklaim sebagai bagian dari atau berafiliasi dengan unit Tentara Pertahanan Rakyat (PDF), kelompok bersenjata longgar dan terdesentralisasi dari Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).
Sementara itu, NUG mengutuk penggunaan kekerasan terhadap warga sipil, mengklaim itu hanya harus digunakan dalam membela diri.
"Saya pikir PDF mencoba menakut-nakuti siswa sehingga kami akan protes dengan mereka. Tetapi baik PDF maupun militer sekarang mengambil sisi ekstrem seperti itu,” kata Chika Ko.
"Bahkan PDF sekarang mengatakan bahwa jika kita tidak bergabung dengan mereka, itu berarti kita mendukung militer, dan mereka mengancam kita," tambahnya.
Baca juga: 15 Negara Anggota DK PBB Desak Myanmar Hentikan Kekerasan
Teror Militer