Konflik di Afghanistan
Cerita Pembawa Berita Wanita di Afghanistan saat Tampil di TV: Takut tapi Tetap Tersenyum
Pembawa berita Yalda Ali menceritakan kesusahannya menjadi jurnalis wanita di bawah kekuasaan Taliban di Afghanistan.
TRIBUNNEWS.COM - Pembawa berita Yalda Ali menceritakan kesusahannya menjadi jurnalis wanita di bawah kekuasaan Taliban di Afghanistan.
Sebagai pembawa acara "Good Morning" TOLO TV, Yalda Ali (25) hanyalah satu dari beberapa jurnalis wanita yang masih bekerja di ibu kota Afghanistan setelah Taliban merebut kekuasaan.
Mereka yang masih bekerja sekarang harus tampil di depan umum atau di siaran radio untuk melaporkan berita, tanpa memprovokasi kemarahan penguasa militan mereka.
"Saya harus sangat berhati-hati dengan setiap kata, dan juga tentang riasan yang saya kenakan, bagaimana saya berpakaian dan bagaimana saya berperilaku di sekitar pria," ujar Yalda kepada NBC News dalam sebuah wawancara Kamis (16/9/2021).
"Kami tidak tahu apakah kami memiliki kebebasan berbicara, jadi kami harus berhati-hati agar Taliban tidak mengamuk dan kami dirugikan."
Baca juga: 7 Orang Tewas dan 30 Terluka karena Ledakan di Dua Kota Afghanistan, Diduga Ulah ISIS-K
Baca juga: Keluarga Korban Serangan Drone di Afghanistan Minta AS Tanggung Jawab: Kami Tidak Bersalah

Yalda baru menjabat sebagai pembawa berita TV selama dua minggu.
Pembawa berita sebelumnya telah meninggalkan Afghanistan ketika puluhan ribu orang melarikan diri saat pasukan Amerika meninggalkan negara itu.
Setelah dua dekade bekerja di bawah undang-undang yang membela kebebasan berekspresi, jurnalis Afghanistan menghadapi masa depan yang tidak pasti di bawah rezim baru Taliban.
Beberapa jurnalis melarikan diri, beberapa dilaporkan dipukuli karena melakukan pekerjaan mereka.
Bekerja bahkan lebih berbahaya bagi perempuan, yang harus berhati-hati atas apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan di bawah pemerintahan Taliban.

Di bawah pemerintahan Taliban sebelumnya, yang digulingkan oleh pasukan AS pada 2001, perempuan dilarang bersekolah, bekerja, dan meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki.
Mereka harus mengenakan burqa yang menutupi semua bagian tubuh.
Mereka juga tidak boleh tidak muncul di televisi.
Suara mereka dilarang terdengar di radio.
Dua puluh tahun kemudian, setelah invasi AS berakhir, Taliban mengatakan mereka telah berubah.
Namun kementerian pendidikan yang dikelola Taliban meminta anak laki-laki dari kelas 7-12 untuk kembali ke sekolah bersama dengan guru laki-laki mereka.
Mereka tidak menyebutkan anak perempuan di kelas itu juga harus kembali ke sekolah.
Kementerian Urusan Wanita tidak ada lagi.
Gedungnya kini dipakai Taliban untuk mendirikan sebuah kementerian untuk "menyebarkan kebajikan dan pencegahan kejahatan".
Ketika para perempuan memprotes persamaan hak pada awal bulan ini, pasukan keamanan merespons dengan kekerasan, menurut Human Rights Watch.
Rekaman video yang diterbitkan oleh NBC News menunjukkan pengunjuk rasa wanita dicambuk oleh seorang pejuang Taliban di Kabul.
Setelah itu, para militan mengumumkan aksi protes dilarang sejak minggu lalu, kecuali disetujui sebelumnya.
Wartawan yang meliput aksi protes yang tidak disetujui juga dianggap ilegal.
Patricia Gossman, direktur asosiasi untuk divisi Asia di Human Rights Watch, mengatakan Taliban tidak pernah menerima pertanggungjawaban oleh publik atau media dan itu tidak akan berubah sekarang.
"Tidak ada toleransi untuk perbedaan pendapat dan perbedaan pendapat apa pun akan ditanggapi dengan brutal," katanya.
Sementara itu, jumlah jurnalis perempuan yang bekerja di Afghanistan menurun drastis.
"Wartawan wanita perlahan-lahan menghilang dari ibu kota," ujar kelompok nirlaba Reporters Without Borders pada 31 Agustus.
Tahun lalu, ada sekitar 700 jurnalis wanita di Kabul, menurut survei bersama oleh kelompok tersebut dan Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan.
Pada akhir Agustus lalu, kurang dari 100 orang masih secara resmi bekerja di stasiun radio dan TV milik swasta di ibukota Afghanistan, menurut penyelidikan oleh Reporters Without Borders.
Di luar Kabul, gambarnya bahkan lebih mencolok.
Sebagian besar jurnalis perempuan dipaksa untuk berhenti bekerja, di mana hampir semua media milik swasta berhenti beroperasi ketika pasukan Taliban maju.
Sementara itu, siaran yang dikelola negara menunjukkan pertunjukan kekuatan Taliban.
Jadi bagi Yalda, butuh nyali untuk tampil di TV, terutama mengingat sejarah TOLO TV dengan Taliban.
Pada 2016 lalu, pekerja TOLO TV menjadi target serangan Taliban.
7 orang tewas dalam serangan tersebut.
Taliban menuduh TOLO TV "mempromosikan kecabulan, ketidakberagamaan, budaya asing, dan ketelanjangan."
Saat tampil di depan kamera, Yalda masih memakai riasan, meskipun lebih sedikit dari sebelumnya.
Meskipun dia berpakaian lebih konservatif, dia terus tersenyum.
"Dalam kondisi seperti ini saya datang ke depan kamera dengan semua ketakutan di hati saya, tetapi saya tersenyum," katanya.
"Satu senyuman dapat mengangkat sebuah bangsa dalam sehari."
(Tribunews.com, Tiara Shelavie)
Berita lainnya seputar Konflik di Afghanistan