Konflik di Afghanistan
Cerita Pembawa Berita Wanita di Afghanistan saat Tampil di TV: Takut tapi Tetap Tersenyum
Pembawa berita Yalda Ali menceritakan kesusahannya menjadi jurnalis wanita di bawah kekuasaan Taliban di Afghanistan.
Namun kementerian pendidikan yang dikelola Taliban meminta anak laki-laki dari kelas 7-12 untuk kembali ke sekolah bersama dengan guru laki-laki mereka.
Mereka tidak menyebutkan anak perempuan di kelas itu juga harus kembali ke sekolah.
Kementerian Urusan Wanita tidak ada lagi.
Gedungnya kini dipakai Taliban untuk mendirikan sebuah kementerian untuk "menyebarkan kebajikan dan pencegahan kejahatan".
Ketika para perempuan memprotes persamaan hak pada awal bulan ini, pasukan keamanan merespons dengan kekerasan, menurut Human Rights Watch.
Rekaman video yang diterbitkan oleh NBC News menunjukkan pengunjuk rasa wanita dicambuk oleh seorang pejuang Taliban di Kabul.
Setelah itu, para militan mengumumkan aksi protes dilarang sejak minggu lalu, kecuali disetujui sebelumnya.
Wartawan yang meliput aksi protes yang tidak disetujui juga dianggap ilegal.
Patricia Gossman, direktur asosiasi untuk divisi Asia di Human Rights Watch, mengatakan Taliban tidak pernah menerima pertanggungjawaban oleh publik atau media dan itu tidak akan berubah sekarang.
"Tidak ada toleransi untuk perbedaan pendapat dan perbedaan pendapat apa pun akan ditanggapi dengan brutal," katanya.
Sementara itu, jumlah jurnalis perempuan yang bekerja di Afghanistan menurun drastis.
"Wartawan wanita perlahan-lahan menghilang dari ibu kota," ujar kelompok nirlaba Reporters Without Borders pada 31 Agustus.
Tahun lalu, ada sekitar 700 jurnalis wanita di Kabul, menurut survei bersama oleh kelompok tersebut dan Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan.
Pada akhir Agustus lalu, kurang dari 100 orang masih secara resmi bekerja di stasiun radio dan TV milik swasta di ibukota Afghanistan, menurut penyelidikan oleh Reporters Without Borders.
Di luar Kabul, gambarnya bahkan lebih mencolok.