Donald Trump Gugat Twitter, Google, dan Facebook, Buntut Masalah Pemblokiran Akun
Mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump menggugat perusahaan teknologi Google, Twitter dan Facebook terkait masalah pemblokiran akunnya.
Baca juga: Trump Gugat New York City Karena Hentikan Kontrak Lapangan Golf Setelah Kerusuhan di Capitol
Baca juga: Pakai Jaket Bertuliskan LOVE, Jill Biden Dibanding-bandingkan dengan Melania Trump

Kerusuhan itu dianggap akibat dari klaimnya yang berulang-ulang, tanpa bukti, bahwa pemilihan presiden dicurangi untuk mendukung Joe Biden.
Trump menulis bahwa "patriot hebat" yang memilihnya akan memiliki "suara besar" dan "tidak akan diremehkan atau diperlakukan tidak adil dengan cara, atau bentuk apa pun".
Di postingan lain ia mengatakan tidak akan menghadiri pelantikan Presiden Joe Biden.
Pada saat yang sama pada hari Rabu, sekutu Trump dari Partai Republik di Kongres merilis sebuah memo yang menggambarkan rencana mereka untuk menghadapi Big Tech.
Agenda tersebut menyerukan langkah-langkah antimonopoli untuk "memecah" perusahaan, dan pembenahan undang-undang yang dikenal sebagai Section 230.
Section 230, yang coba dicabut oleh Trump sebagai presiden, pada dasarnya menghentikan perusahaan seperti Facebook dan Twitter untuk bertanggung jawab atas hal-hal yang diposting pengguna.
Ini memberi perusahaan itu status "platform" dan bukan "penerbit".
"Ini adalah perlindungan kewajiban yang tidak pernah diterima oleh siapa pun dalam sejarah negara kita," kata Trump, mengkritik undang-undang tersebut pada hari Rabu.
Dia menambahkan, undang-undang tersebut membatalkan status perusahaan sebagai perusahaan swasta.
Baca juga: Trump Akhirnya Sadar Dia Bukan Lagi Presiden setelah Lihat Pertemuan Biden-Putin, Ungkap Analis
Gugatan itu telah dikritik oleh para ahli hukum.
Mereka menunjuk pada kebiasaan Trump yang mengeluarkan tuntutan hukum untuk perhatian media semata tetapi tidak secara agresif membela klaim-klaimnya di pengadilan.
Argumennya tentang pelanggaran kebebasan berbicara juga dipertanyakan oleh para analis.
Sebab, perusahaan yang dia tuduh memiliki perlindungan Amandemen Pertama dalam menentukan konten di situs mereka.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Berita lainnya tentang Donald Trump