Virus Corona
PM Inggris Boris Johnson Pulang dari Rumah Sakit, Tunangannya Sampaikan Terima Kasih Pada NHS
erdana Menteri Inggris, Boris Johnson akhirnya keluar dari rumah sakit setelah menjalani perawatan Covid-19.
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson akhirnya keluar dari rumah sakit setelah menjalani perawatan Covid-19.
Setidaknya tiga hari Johnson menghabiskan malam di ruang perawatan intensif (ICU) di Rumah Sakit St Thomas, London.
Pihak Downing Street mengabarkan bahwa kini Perdana Menteri akan melanjutkan pemulihan di rumah dinasnya.
"PM telah dikeluarkan dari rumah sakit untuk melanjutkan pemulihannya, di Checkers," kata pernyataan resmi dari Downing Street dikutip dari Straits Times.
"Atas saran tim medisnya, PM tidak akan segera kembali bekerja."
"Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang di St Thomas untuk perawatan brilian yang telah dia terima."
Baca: Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson Keluar dari Ruang ICU dan Kini Fokus Pemulihan
Baca: Tunangan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson Menangis karena Kekasihnya Dirawat di Rumah Sakit
Johnson (55) dilarikan ke rumah sakit pada 5 April 2020 lalu, karena mengalami gejala persisten Covid-19.
Kemudian, pada 6 April dia dipindahkan ke ICU dan tinggal sampai 9 April.
Johnson juga berterimakasih dengan paramedis yang merawatnya.
"Saya berutang hidup pada mereka," katanya.
Kabar ini tentu disambut bahagia tunangannya, Carrie Symonds.
Pada Minggu lalu dia mengatakan bahwa ia menjalani hari-hari yang sedih selama Johnson dirawat di rumah sakit.
Baca: Diperbolehkan Pulang, PM Inggris Boris Johnson Jalani Masa Pemulihan di Rumah Dinas
Baca: Kondisi Kesehatannya Tunjukkan Kemajuan, PM Inggris Masih Butuh Waktu Pemulihan di Rumah Sakit
"Minggu lalu merupakan saat yang gelap. Aku sedih karena banyak situasi sama yang terjadi, khawatir sakit tentang orang yang mereka cintai," cuitnya.
"Hari ini aku merasa sangat beruntung."
Sementara itu, para menteri kabinet Johnson sedang dirundung tekanan karena jumlah kematian di Inggris meningkat tajam.
Selama dua hari berturut-turut, kematian meningkat hingga lebih dari 900 orang.
Sama halnya yang terjadi di Italia pada Jumat lalu.
Baca: Di AS Kematian Akibat Covid-19 Diprediksi Akan Mencapai Puncak, Sempat Capai 2000 Nyawa Dalam Sehari
Baca: Pasien PDP Covid-19 Ngamuk di Ruang Isolasi, Jemaah Tabligh Gowa Nekat Pecahkan Kaca & Ancam Perawat
Hanya dalam 24 jam, ada 980 orang yang meninggal, angka ini tercatat menjadi rekor tertinggi di sana.
Pada Minggu lalu, korban jiwa di Inggris sudah mencapai 9.594.
Pemerintah memperkirakan tidak lama angka ini akan genap menjadi 10.000.
"Inggris kemungkinan besar akan menjadi salah satu negara yang paling parah terkena dampak atau bukan negara yang paling parah terkena dampaknya di Eropa," Jeremy Farrar, direktur yayasan kesehatan Wellcome Trust.
Melihat kondisi pandemi yang semakin subur di Inggris, Ratu Elizabeth II merilis pesannya kepada masyarakat.
"Virus corona tidak akan mengalahkan kita," pesan Ratu.

Baca: BIN Membuka Lowongan Tim Penanganan Tes COVID-19, Cek Cara dan Syarat, Pendaftaran hingga 14 April
Baca: Covid-19: Sebanyak 359 Orang Sembuh, Jawa Timur Paling Banyak
Banyaknya korban jiwa dan jumlah infeksi menimbulkan anggapan bahwa pemerintah Inggris terlambat melakukan lockdown.
Diketahui sebelumnya, Inggris melakukan penguncian nasional sejak 23 Maret lalu.
Hingga kini belum ada keputusan akan dicabut atau tidak.
Menteri Kesehatan, Matt Hancock mengatakan bahwa jumlah kematian harian Inggris telah melebihi Italia karena memiliki populasi yang lebih besar.
Populasi Inggris adalah sekitar 66 juta sedangkan Italia adalah 60 juta.
Namun saat ditanya terkait mengapa Jerman, dengan populasi sekitar 83 juta, memiliki jumlah yang jauh lebih rendah daripada banyak negara, dia berkelit.
"Situasi Jerman adalah situasi yang sering saya lihat."
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)