Hari Anak Nasional: Kisah-kisah anak yang menikah dini di kamp pengungsian Palu
Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu,
Dia menceritakan perasaannya ketika mengetahui pertama kali dirinya hamil.
"Takut, karena pikir to masih sekolah. Tapi suami bilang, 'jangan diapa-apakan, saya tanggung jawab'."
Pada April lalu, setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan, Dini akhirnya menikah.
Dini menuturkan orangtuanya sempat kecewa dengan pernikahannya sebab sebagai anak pertama, dirinya menjadi tumpuan harapan keluarga.
"Nangis, kecewa lah."
"Karena awalnya bilang saya mau kuliah, ini-itu, ujung-ujungnya tidak."
Betapapun, Dini kini mengaku pasrah dengan nasibnya.
"Mungkin jalannya sudah begitu. Takdirnya dorang."
- Kasus pernikahan anak di tenda pengungsian Kota Palu dan sekitarnya seperti 'gunung es'
- Pernikahan anak berusia 11 tahun, jadi istri ketiga, picu kemarahan di Malaysia
- Apakah pernikahan anak di bawah umur benar-benar terjadi setiap tujuh detik?
Ibu Dini, Siti (bukan nama sebenarnya), mengiyakan bahwa pada mulanya dia tidak menghendaki putrinya menikah dini. Dia menginginkan Dini menyelesaikan pendidikan dan bekerja untuk memperbaiki taraf hidup keluarga.
"Maunya kita, nanti kerja, dapat uang sendiri."
Siti sendiri baru menikah ketika usianya menginjak 21 tahun.
Namun, Siti tidak bisa melarang anaknya menikah karena selain sudah hamil di luar nikah, kondisi keuangan keluarganya pun terhimpit.
"Karena kita mata pencaharian sudah tidak menentu lagi. Sudah tinggal begini, rumah tidak ada. Mau dikasih kuliah apa sudah tiada lagi mata pencaharian," keluh Siti.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Siti membuat kue tradisional yang dia jual di warung-warung di pengungsian. Sementara suaminya sudah tak lagi bekerja.
Santi, 15 tahun