Hari Anak Nasional: Kisah-kisah anak yang menikah dini di kamp pengungsian Palu
Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu,
Lantas, apa yang menjadi penyebab anak-anak ini dinikahkan dalam usia di bawah umur?
Dewi mengungkapkan, motif ekonomi mendominasi pernikahan anak ini. Karena desakan ekonomi keluarga, yang kemudian menikahkan anaknya demi mengurangi beban keluarga.
"Walaupun di Undang-Undang Perlindungan Anak kan 0-18 tahun masih dikategorikan sebagai anak sebetulnya."

Faktor keterdesakan ekonomi juga disuarakan oleh Soraya Sultan, ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah atau KPKP-ST yang ikut memberi pendampingan kepada anak-anak dan remaja di enam lokasi pengungsian di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
"Apalagi situasi begini, beban tekanan ekonomi, tekanan sosial juga. Begitu ada tanggung jawab yang terpindah, itu mereka merasa bebannya ilang sedikit," imbuhnya.
Namun dia menambahkan, selain keterdesakan ekonomi, faktor hamil di luar nikah juga menjadi penyebab pernikahan anak ini.
"Walaupun hamil, tapi kan mindset orang tua kalau anak sudah menikah, tanggung jawab orang tua lepas. Mau dia kawin dengan seumuran kah, atau yang lebih tua kah, tanggung jawab lepas," jelas Soraya.
Namun, Soraya juga menggarisbawahi bahwa proteksi orangtua jauh berbeda ketika mereka tinggal di kamp pengungsian.
"Kalau di rumah, tingkat perlindungan orang tua lebih tinggi daripada di kamp atau huntara karena tenda atau Huntara yang kecil."
"Kita kan tidak bisa memaksa anak gadis tetap tinggal di dalam rumah. Siapa yang betah di ukuran tiga kali empat, satu kali dua puluh empat jam?"
Namun, terlepas dari kondisi ekonomi yang mendesak, faktor norma sosial di Palu dan sekitarnya yang melanggengkan pernikahan anak, menurut Dewi, juga menjadi penyebab maraknya pernikahan anak di Sulawesi Tengah.
"Itu jadi faktor juga, karena Sulawesi tengah ketiga tertinggi secara nasional."

"Desakan lingkungan memaksa anak untuk segera dikawinkan."
"Lingkungan, dalam hal ini tradisi dan budaya di Sulawesi tengah, terutama di daerah pegunungan tinggi yang adatnya sangat kuat, banyak juga kita temukan kasus-kasus seperti itu," jelas Dewi.
Rata-rata dari anak-anak ini, ujar Dewi, dinikahkan ketika mereka berusia 15-16 tahun.
Fenomena ini, menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Rita Pranawati memperparah predikat Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi.

Dia menuturkan situasi pendidikan dan perspektif budaya, juga menjadi penyebab maraknya pernikahan anak di Sulawesi Tengah.
"Misalnya, tidak mau dianggap anaknya tidak laku, ini kan sudah menjadi bagian dari adat yang sering dianggap malu keluarga, aib."
"Ketercapaian wajib belajar juga tidak tinggi, situasinya jadi kurang baik."
"Tapi memang terkait kultur norma sosial dan budaya itu yang sebenarnya sering menjadi pendorong utama," kata dia.
'Saya tidak mau, saya mau kejar prestasi"
Namun, di antara anak-anak yang disuruh menikah, ada yang mendobrak norma sosial itu.
Ratna dan Galih (bukan nama sebenarnya), dua sejoli yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dipaksa menikah oleh orang tua Ratna hanya karena mereka bermain hingga pagi hari.
"Saya tidak mau lah. Saya mau kejar prestasiku dengan saya mau sekolah," ungkap Ratna yang masih berusia 16 tahun itu.
Dia menuturkan ini untuk kedua kalinya sang ibu memaksanya untuk menikah.
Sebelumnya, beberapa saat setelah gempa dan tsunami menerjang Palu dan sekitarnya, ibunya memaksanya menikah dengan pamannya yang kehilangan istrinya.
Ratna biasa memanggil bibinya dengan sebutan 'bunda'.
"Saya disuruh menggantikan bunda. Saya disuruh kawin sama dia (pamannya)."
Ratna langsung menampik paksaan dari orang tuanya itu, "Karena masih sekolah dan saya tidak suka".
"Sempat saya lari dari rumah satu minggu."
Di rumah, Ratna mengaku sering mendapat perlakuan kasar dari anggota keluarganya, termasuk ibu, nenek dan pamannya. Hal itu membuatnya tidak betah tinggal di rumah.
Bahkan, Ratna mengaku sudah tiga kali diperkosa oleh pamannya.
"Kejadiannya sesuah gempa, waktu bunda saya masih hidup. Pas malam, saya tidur di kamar nenek, terus dia masuk kamar. Saya teriak tidak bisa, dia perkosa saya, saya tidak bisa teriak mau bagaimana, saya tidak bisa teriak," ungkap Ratna sambil menahan tangis.
Bukan hanya sekali itu saja dia diperkosa oleh pamannya. Setidaknya, aku Ratna, sudah tiga kali sang paman melakukannya.
Saat ini kasus ini sedang diproses oleh pihak kepolisian.
Namun, kejadian ini tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan demi mengejar cita-citanya menjadi guru olahraga.
"Mau sekali, saya mau melanjutkan sekolah sampai kuliah. Jadi guru penjas (pendidikan jasmani)"
Fenomena gunung es?
Pernikahan Dini dan Santi adalah apa yang disebut 'puncak gunung es' oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir.
Dia mengungkapkan saat ini ada 12 kasus pernikahan anak yang tercatat di 12 titik pengungsian korban gempa dan tsunami yang terjadi September silam.
"Ini seperti fenomena gunung es ya, kita bisa lihat dari permukaan saja besarnya, artinya orang yang melapor memang di 12 titik. Kita punya titik-titik posko di situ. Tapi kalau saja [jumlah posko] lebih dari itu, bisa jadi itu lebih," ujar Ihsan.
Lebih lanjut, Ihsan mengklaim bahwa tren pernikahan anak di Sulawesi Tengah mengalami penurunan.
Di tahun 2018, prevalensi pernikahan anak menjadi 22%.
"Hanya saja, setelah gempa, kita belum bisa deteksi secara riil data. Dari data Dukcapil, di kota Palu sendiri ada 28 anak laki-laki yang kawin terlalu dini dan ada 45 orang perempuan yang klafikasinya pernikahan anak," kata dia.
Dewi dari LIBU Sulawesi Tengah mengkhawatirkan angka yang sudah terdeteksi ini jauh di bawah angka yang sebenarnya, mengingat ada sekitar 400 lokasi pengungsian yang tersebar di Palu, Sigi dan Donggala.
"Data sekarang ada 400 titik pengungsian dan jujur saja, kita belum mampu melakukan intervensi ke banyak titik."
Apalagi, lanjut Dewi, saat ini masih banyak dari pengungsi ini masih tinggal di tenda-tenda. Mereka yang berada di tenda pengungsian, dipandang jauh lebih rentan ketimbang mereka yang kini sudah tinggal di hunian sementara.
"Mungkin yang tidak terlapor, atau yang tidak bisa kita pantau dari 400 titik itu, apalagi dengan kerentanan pascabencana," kata dia.
Hingga Mei 2019, berdasarkan data Pemerintah Kota Palu, setidaknya masih terdapat 10.000 kepala keluarga atau 40.136 jiwa masih berada di lokasi-lokasi pengungsian.
Dari jumlah itu baru 4.558 KK yang sudah tertampung oleh Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun oleh pemerintah dan LSM, sedangkan sisanya sebanyak 6.655 KK masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Perempuan dan anak semakin rentan
Ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) Soraya Sultan menyebut fenomena pernikahan anak di kamp pengungsian ini membuat anak-anak dan perempuan penyintas bencana kian rentan.
"Dari sisi sosial, dari sisi ekonomi, perlindungan hukum, semua serba rentan," ujar Soraya.
Dia menuturkan, ada tiga isu besar yang menghantui perempuan dan anak di pengungsian. Selain pernikahan anak, fenomena trafficking juga menjadi ancaman baru bagi perempuan penyintas bencana.
"Seperti di Sigi, Sulawesi Tengah ini adalah salah satu kantong buruh migran dan itu sudah mulai kelihatan, karena kehilangan pekerjaan, mereka bermigrasi, terserah mau jadi apa. Fenomena trafficking sudah mulai muncul," jelas Soraya.
Dia menambahkan kesehatan reproduksi perempuan juga menjadi masalah bagi perempuan di pengungsian.
"Kami juga menekankan pada pemerintah supaya isu ini jadi sorotan dan jadi program. Karena tenda ramah perempuan kan terbatas, kemampuan, apalagi kita betul-betul fungsinya relawan di sini," kata dia.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir, mengatakan untuk menekan angka pernikahan di bawah umur, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan penyuluhan dan respons cepat dalam wujud forum anak-anak yang dibentuk pihak pemprov.