Selasa, 30 September 2025

Hari Anak Nasional: Kisah-kisah anak yang menikah dini di kamp pengungsian Palu

Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu,

Suaminya, adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang bekerja di pelabuhan.

"Saya menikah sama dia karena kita sudah baku suka, tidak ada kata-kata untuk saling melepaskan. Jadi dianya sudah bosan ketemuan terus. Kadang saya jo dilarang ketemuan, terpaksa lebih baik kawin aja," ungkap gadis berkulit sawo matang itu.

Santi terpaksa putus sekolah ketika duduk di kelas dua sekolah menengah pertama, karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung.

Setelah gempa mengguncang, Vera selama beberapa minggu tinggal di tenda pengungsian. Setelah itu, dia tinggal di rumah neneknya.

Setelah pacaran selama dua bulan dengan tetangganya, dia lalu memutuskan untuk menikah setelah ibu dan neneknya memergoki dia berpacaran.

"Suami saya katanya belum pingin kawin. Jadi dia tuh memikirkan karena kita sudah berhubungan, terpaksa dia mau. Namanya juga kita saling menyukai. Jadi kata orang tua ya mau diapain, kawinin aja."

Alasan menikahkan anak karena norma warga setempat diakui oleh Azis, ketua lembaga adat di desa itu.

"Kami sebagai lembaga adat kami sama-sama pertanggungjawabkan ini. Meski umurnya belum cukup, kami tetap laksanakan itu," ujar pria paruh baya itu.

"Kenapa kami laksanakan kebetulan orang tuanya seakan-akan tidak menghiraukan mereka, sehingga kami berani juga melaksanakan pernikahan mereka." imbuhnya.

Apa penyebabnya?

Pernikahan Dini dan Santi adalah beberapa dari 12 kasus pernikahan anak yang terpantau oleh tenda ramah perempuan - sebuah posko yang didirikan menjadi pusat rujukan bagi permasalahan anak dan perempuan di pengungsian - dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.

Sebanyak 10 kasus, terjadi di enam tenda ramah perempuan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan, LIBU.

Direktur LIBU Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir mengungkapkan, kasus pernikahan anak paling banyak terjadi di Petobo, tempat fenomena likuifaksi terjadi.

"Memang di Petobo ini laporan yang paling banyak, ada lima orang anak, yang dilaporkan oleh volunteer. Kemudian ada dua di Pantoloan, dua orang di Jono Oge dan satu orang di Balaroa."

Dewi menuturkan empat dari anak perempuan ini menikah dengan pria dewasa, sementara sisanya menikah dengan teman sebayanya.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved