Pemilu 2019 'banyak masalah', pengamat sarankan pemisahan pemilihan serentak nasional dan serentak daerah
Koalisi Pemantau Pemilu menilai pelaksanaan pemilihan tingkat nasional dan daerah sekaligus telah menimbulkan banyak masalah bagi petugas penyelenggara,
"Kalau sekarang ini kan aktornya (peserta pemilu) banyak sekali," ujar Titi Anggraini kepada BBC News Indonesia, Minggu (21/04).
- Calon presiden Prabowo Subianto menyebut lembaga survei yang mengeluarkan quick count 'tukang bohong'
- Quick Count: 'Prabowo unggul di 18 provinsi, tapi jumlah pemilih Jokowi lebih banyak'
- Pemilu yang 'mengusik' ritual Semana Santa di Larantuka, NTT
Kata Titi, koalisi pemantau pemilu mengusulkan pemisahan antara pemilu serentak di tingkat nasional dan daerah. Ia mencontohkan, pemilu serentak tingkat nasional diikuti oleh Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sementara pemilu serentak daerah diikuti kepala daerah, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kendati begitu, pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah ini disarankan berjarak 30 bulan atau 2,5 tahun. Tujuannya untuk merapikan jadwal pemilu dan menghindari kejenuhan di masyarakat.
"Akhirnya kita punya pemilu yang lebih terjadwal dan tertib. Itu juga bisa dimanfatakan pemilih untuk mengevaluasi keterpilihan produk pemilu serentak nasional tanpa harus menunggu lima tahun."
Dengan pemisahan itu pula, beban untuk penyelenggara pemilu berkurang. Selain itu, informasi yang dibawa para peserta pemilu tidak bertabrakan.
"Jadi distribusi informasi, beban, kompetisi, masih bisa terkendali. Nah ke depan misalnya cuma ada tiga surat suara, isunya bisa kongruen (sama). Begitu juga dengan daerah," jelas Titi.
"Selain itu, distribusi beban masuk akal bagi pemilih, penyelenggara, dan pemilih," sambungnya.
"Bayangkan antara lima, kan berbeda dengan hanya tiga saja. Kalau lima sekaligus akan tumpang tindah."
Sedangkan untuk mengurangi beban kerja petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), KPU kata Titi, sudah harus mengembangkan rekapitulasi secara elektronik.
Menurutnya, proses administrasi rekapitulasi dengan pengisian begitu banyak kertas, memakan waktu dan tenaga.
"Transfer dokumen itu gimana teknologinya bisa merekam mulai dari TPS sampai ke tingkat atas. Nah ini teknologi apa yang cocok? Itu harus dipikirkan sehingga 2024 rekapitulasi elektronik harus kita berlakukan," tukasnya.
Baginya menambah anggota KPPS belum tentu menyelesaikan masalah. Selain karena tak mudah mencari orang, ide penambahan itu adalah solusi parsial. Menurut Titi, dengan mengubah sistem pemilu dan menggunakan teknologi dalam merekapitulasi, beban kerja petugas KPPS akan lebih ringan.