Jumat, 3 Oktober 2025
Deutsche Welle

Kudeta Merangkak Ala Soeharto Hingga Jadi Figur Milter

Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, memberi andil pada perilakunya di ranah politik. Seperti apa? Simak opini…

Ada satu nilai dari Soeharto, yang rasanya akan sulit diulang pihak lain, yakni soal kesabarannya. Sebagaimana sudah dijelaskan secara gamblang oleh sejarah, bahwa Soeharto terobsesi untuk menundukkan dua jenderal senior AD, yakni Ahmad Yani dan AH Nasution. Dengan kesabarannya yang khas, Soeharto bisa lepas dari bayang-bayang dua jenderal tersebut.

Menonjolnya figur Ahmad Yani menjadikan Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya dalam Peristiwa 1965. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.

Sekadar mengingatkan kembali, antara Yani dan Soehartoada ikatan kultural (bersama perwira-perwira asal Jateng lain), yang dikenal sebagai "Rumpun Diponegoro”. Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga akhir hidupnya. Tidak demikian dengan Yani, yang lebih kosmopolitan, sepulangnya mengikuti pendidikan Seskoad di Amerika (Fort Leavenworth).

Kemudian dalam menghadapi Nasution, kesabaran Soeharto lebih dahsyat lagi, hampir empat dekade. Sebagaimana sudah diketahui, memang sempat terjadi ketegangan antara Soeharto dengan Nasution, pada tahun 1950-an, saat Soehartomasih Pangdam Diponegoro, sementara Nasution adalah KSAD. Nasution mempersoalkan bisnis ilegal yang dilakukan Soeharto beserta kroninya saat itu.

Kesabaran Soeharto untuk menanti hari yang pas untuk "membalas” tindakan Nasution dahulu, ibarat seorang sniper (penembak runduk). Akhirnya saat yang ditunggu datang, pada penggal terakhir kekuasaannya, Soeharto memberi anugerah jenderal besar (lima bintang) pada Nasution.

Ini sebenarnya adalah parodi bagi Nasution. Bagi tokoh sekaliber Nasution, anugerah jenderal besar sebenarnya tidak terlalu berarti. Bila tidak diberikan pun, tidak mengurangi nama besar Nasution. Tampaknya Soeharto sengaja memberi pangkat ini di hari senja Nasution, ketika secara psikis dan fisik Nasution sudah melemah, sehingga tak kuasa menolaknya.

Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.

Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved