Nasib Carmen, si Penderita HIV Dipertaruhkan Bulan Ini
Carmen tinggal bersama suami dan kedua anaknya di Mozambique. Ia adalah penderita HIV yang hidup bahagia dan sehat
TRIBUNNEWS.COM - Carmen tinggal bersama suami dan kedua anaknya di Mozambique. Ia adalah penderita HIV yang hidup bahagia dan sehat berkat obat-obatan terjangkau yang ia terima melalui program medis pemerintah Mozambique yang didukung oleh MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas). Demikian rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Jumat (21/9/2012).
Namun bulan ini, masa depan Carmen, dan juga nasib jutaan pasien di seluruh negara berkembang, saat ini sedang dipertaruhkan di pengadilan India. Dua perusahaan farmasi multinasional – Novartis asal Swiss, dan Bayer dari Jerman – masing-masing sedang melancarkan serangan hukum secara terpisah menentang pemerintah India yang telah berhasil memperbaiki akses terhadap obat-obatan terjangkau, khususnya obat kanker.
Kenapa Carmen harus peduli dengan pertempuran hukum seputar obat (penyakit kanker) yang sedang terjadi di belahan dunia lain untuk menyembuhkan penyakit yang tidak ia miliki?
Carmen mungkin tidak tahu, namun sebenarnya kedua kasus ini berpengaruh terhadap kehidupannya. Jika kedua perusahaan farmasi ini berhasil memenangkan perkara di pengadilan India, hal ini akan perlahan-lahan mencekik arus pasokan obat-obatan yang selama ini diproduksi India dengan harga terjangkau. India selama ini merupakan sumber penghasil obat-obatan yang digunakan Carmen dan jutaan orang lainnya.
Persengketaan Novartis ini telah berlangsung sejak tahun 2006, ketika permohonan hak paten untuk obat imatinib mesylate (dipasarkan dengan nama Glivec) ditolak oleh pemerintah India.
Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual India telah disusun sedemikian rupa sehingga tidak mudah untuk mendapatkan persetujuan hak paten bagi bentuk produk baru yang sebenarnya serupa dengan versi (produk) obat yang telah ada. Persetujuan hak paten hanya akan diberikan jika bentuk baru obat tersebut terbukti memiliki khasiat/kemanjuran terapuitik yang lebih ampuh. Upaya menggabungkan 3 jenis pil menjadi satu atau penggunaan praktek farmasi yang telah lazim dalam industri farmasi demi memformulasikan sebuah obat tidak dianggap inovatif oleh India. Dan oleh karenanya, India tidak setuju untuk memberikan hak paten selama 20 tahun bagi produk seperti itu.
Misi di balik undang-undang HKI India ini adalah untuk mendorong, memberikan insentif bagi lebih banyak lagi upaya-upaya peneletian dan pengembangan obat baru, serta untuk menghentikan praktek-praktek “evergreening” perusahaan farmasi raksasa – dimana sebuah obat tunggal dapat memiliki beberapa aplikasi untuk permohonan paten yang terpisah, masing-masing berkaitan dengan aspek yang berbeda dari obat yang sama.
Ini tentu saja merupakan permainan yang sangat menguntungkan, namun juga mematikan. Tingginya harga obat-obatan yang berakar dari hak monopoli ini sangat mempengaruhi dan menentukan hidup dan mati banyak orang.
Kompetisi antar berbagai produsen penghasil obat-obat generik - yang dapat berkembang pesat jika tidak dihalangi oleh isu hak paten – telah terbukti berhasil membawa penurunan drastis terhadap harga obat-obatan. Pada tahun 2001, kompetisi antara berbagai perusahaan penghasil obat-obatan generik asal Indialah yang menyebabkan harga antiretroviral untuk pengobatan HIV turun drastis dari Rp. 95,830,000 per pasien/tahun menjadi sekitar Rp. 574,980 saat ini.
Langkah ini berhasil menyelamatkan nyawa dan kehidupan banyak orang. Hal inilah yang memungkinkan upaya peningkatan jangkauan penanganan dan pengobatan HIV berhasil ditingkatkan, melalui berbagai badan pelayanan medis kemanusiaan seperti MSF. Sehingga saat ini 8 juta orang mampu mendapatkan obat-obatan HIV yang membantu mereka untuk tetap hidup, aktif dan produktif. Carmen merupakan salah satu dari mereka.
Selama enam tahun terakhir, Novartis telah dengan gigih mengambil langkah hukum guna menghapus standar yang ketat UU HKI India ini. Novartis sekarang sedang berhadapan dengan Mahkamah Agung India, mencoba melancarkan trik terbarunya. Setelah sebelumnya selalu gagal menuduh UU HKI “inkonstitusional”, Novartis kini mencoba menginterpretasikan undang-undang HKI India sedemikian rupa sehingga mengabaikan kesehatan masyarakat luas.
INTERNASIONAL POPULER