Jumat, 3 Oktober 2025

Tarif AS Naik, Rupiah Melemah, Sektor Padat Karya Terancam Runtuh

Industri mebel dan kerajinan Indonesia menghadapi tekanan berat karena pelemahan nilai tukar rupiah dan kebijakan tarif baru Pemerintah AS.

Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
TRIBUN JATENG/TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA
INDUSTRI KERAJINAN TERTEKAN - Industri mebel dan kerajinan Indonesia menghadapi tekanan berat karena pelemahan nilai tukar rupiah dan kebijakan tarif baru Pemerintah Amerika Serikat. Hal ini membuat sektor padat karya ini berada di ambang krisis. TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri mebel dan kerajinan Indonesia menghadapi tekanan berat karena pelemahan nilai tukar rupiah dan kebijakan tarif baru Pemerintah Amerika Serikat.

Hal ini membuat sektor padat karya ini berada di ambang krisis.
 
"Kondisi ini sebagai “di tepi jurang” jika pemerintah tidak segera hadir secara serius," ujar Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, Rabu (1/10/2025).

Pelemahan rupiah yang menembus Rp16.800 per dolar AS memang meningkatkan penerimaan ekspor dalam rupiah. Namun, kata Sobur, biaya input industri yang berbasis dolar seperti bahan kimia, kain, sparepart, hingga logistik ikut melonjak.

Situasi makin rumit dengan tarif baru dari AS yang berlaku mulai 1 Oktober: 50 persen untuk kitchen cabinet & vanity, dan 30 persen untuk upholstered furniture. Amerika Serikat merupakan pasar utama ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia, masing-masing menyumbang 54 persen dan 44 persen. Artinya, pelaku usaha kini menghadapi krisis ganda: tekanan kurs dan pasar ekspor yang menyempit.

Data HIMKI menunjukkan posisi Indonesia di pasar furnitur AS masih tertinggal jauh. Untuk kategori kitchen furniture, pangsa Indonesia hanya 2,3 persen atau senilai USD 64,6 juta, berada di peringkat kedelapan. Bandingkan dengan Vietnam yang menguasai 39,7 persen dan Kanada 15,4 persen.
 
Kondisi serupa terjadi pada produk upholstered furniture, di mana Indonesia hanya menguasai 1,1 persen, sementara Vietnam dan Tiongkok mendominasi dengan pangsa masing-masing 45,8 persen dan 26,9 persen. Abdul Sobur menegaskan bahwa tanpa dukungan negara, posisi Indonesia akan semakin terpinggirkan.

Ia juga menyoroti minimnya dukungan pemerintah terhadap sektor ini. Padahal, industri mebel dan kerajinan telah lama menjadi tulang punggung ekonomi daerah, menyerap jutaan tenaga kerja dari buruh pabrik hingga perajin desa. Menurutnya, jika pemerintah terus diam, maka sama saja membiarkan sektor ini runtuh perlahan. HIMKI tidak meminta perlakuan istimewa, hanya keberpihakan yang nyata.

Dalam pernyataannya, HIMKI mengajukan tiga tuntutan konkret agar industri tetap bertahan. Pertama, pemerintah harus hadir di pameran global dengan membuka paviliun nasional di pasar potensial seperti Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Kedua, regulasi yang menghambat ekspor perlu dihapus, termasuk sertifikasi SVLK berlapis, karantina berulang, dan syarat ekspor yang saling bertentangan antar kementerian. Ketiga, insentif pajak dan pembiayaan perlu diperkuat, seperti perluasan PPh-21 DTP, tax allowance atau tax holiday selama 2–3 tahun, serta subsidi bunga kredit ekspor di atas 5 persen.

Abdul Sobur menegaskan bahwa krisis ini seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk hadir. Negara lain telah menggelontorkan dukungan besar-besaran untuk menyelamatkan industri furnitur mereka. Indonesia tidak boleh bersikap pelit terhadap sektor yang terbukti padat karya dan memiliki multiplier effect luas.

Ia mengajak pemerintah untuk melihat sektor mebel dan kerajinan sebagai pilar ekonomi yang harus diselamatkan.

"Jangan biarkan jutaan pekerja jatuh ke jurang hanya karena negara enggan memberi dukungan. Jika pemerintah hadir, industri ini bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga bangkit membuka pasar baru dan mengharumkan nama Indonesia di dunia," tuturnya.

kepsyen foto: 

PADAT KARYA - Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur. Kombinasi pelemahan nilai tukar rupiah dan kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat membuat sektor padat karya berada di ambang krisis.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved