Wamenperin Faisol: Produksi Kakao Dalam Negeri Masih Jauh dari Kebutuhan Nasional

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkap produksi kakao di dalam negeri masih jauh di bawah kebutuhan nasional.

Berdasarkan paparan Faisol, ia mengungkap produksi biji kakao di dalam negeri sebesar 210 ribu ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 700 ribu ton.

"Biji kakao dapat diolah menjadi pasta, bubuk, hingga produk kosmetik dan farmasi," katanya dalam acara Pelepasan Tim Ekspedisi Patriot di Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).

Daerah yang bepotensi untuk hilirisasi industri kakao ada di Aceh, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawei Tenggara, dan Papua Barat.

Baca juga: Industri Kakao RI Duduki Posisi 4 di Dunia, Kemenperin Terus Perkuat Ekosistem Hulu hingga Hilir

Menurut paparan Faisol, terdapat empat peluang kerja sama yang dapat dilakukan dalam pengembangan hilirisasi industri kakao di kawasan transmigrasi.

Pertama, pemberdayaan masyarakat melalui program peningkatan kapasitas SDM kakao berkelanjutan bermitra dengan industri untuk meningkatkan penydiaan bahan baku.

Kedua, ekstensifikasi lahan kako melalui pemanfaatan lahan transmigras seluas 437 ribu ha di 6 provinsi.

Ketiga, peningkatan kualitas bahan baku biji kakao hasil transmigran.

Keempat, membuka akses pasar biji kako hasil trasmigran untuk industri pengolaahn kakao dalam negeri.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Panggah Susanto, menyoroti sejumlah masalah yang dihadapi para petani di Indonesia dalam melakukan budidaya kakao.

Menurutnya, perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi rendahnya produksi kakao Indonesia.

Kurangnya daya tarik petani, khususnya petani dari generasi muda melakukan budidaya kakao karena mereka merasa tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai

“Permasalahan kakao di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Salah satu alasan mengapa petani kurang tertarik melakukan budidaya kakao karena mereka tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai,” ujar Panggah dalam keterangannya, Selasa (22/7/2025).

Panggah mengungkapkan, produktivitas rata-rata kakao di Indonesia masih tergolong rendah yaitu sekitar 800 kg per hektare, jauh dari produktivitas maksimalnya yakni sebesar 2 ton.

“Hal ini seharusnya tidak perlu menjadi wacana berulang. Yang diperlukan adalah gerakan konkret untuk mencapai target maksimal tersebut,” tegas Panggah.

Selain itu, ia juga menyoroti terkait masalah standard fermentasi kakao. Kata dia, masalah engganya petani melakukan fermentasi biji kakao karena petani memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi.

Selisih harga sekitar Rp2.000 per kilogram dibandingkan harga non-fermentasi atau asalan, tidak cukup menarik, padahal yang diminta standard internasional adalah fermented cacao.

"Pemerintah mesti membantu petani, karena napas petani kita cekak (pendek), mereka memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi meski dari standar mutunya adalah yang difermentasi,” ungkap Panggah. 

Panggah juga menyoroti terkait masalah hilirisasi. Ia mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan para petani adalah teknologi pengolahan yang memadai untuk meningkatkan nilai tambah produk turunan coklat sangat beragam. 

"Dalam hal ini diperlukan peran sektor industri, maka harus ada sinergi yang baik antara sektor perkebunan dan sektor industri, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sektor perkebunan, karena kalau tidak ada sinergi akan jadi mentok. Hilirisasi ini berada dalam rezim industri," jelasnya.

Karena itu, ia menekankan perlu ada sinergitas erat antara sektor perkebunan dan industri. 

"Jika tidak ada kolaborasi yang kuat, upaya hilirisasi akan sulit berjalan. Saya kira tidak perlu terlalu banyak dibahas, yang terpenting adalah dikerjakan," pungkasnya.