Selasa, 7 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Prabowo dan Trump Deal soal Tarif, Ekonom Prasasti Sebut RI Perlu Manfaatkan Momentum

Negosiasi AS dengan negara lain memang masih berlangsung dan bisa saja menghadirkan berbagai kejutan baru.

Penulis: Sanusi
handout
TARIF IMPOR - Research Director di Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi. Indonesia bisa menjual produk di pasar AS dengan besaran tarif yang lebih rendah dari sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, sementara AS mengekspor barang produktif yang dibutuhkan industri tanah air.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menetapkan besaran tarif perdagangan Indonesia menjadi hanya 19 persen, dipangkas dari rencana sebelumnya 32% seiring dengan tercapainya kesepakatan kedua negara, Selasa (15/7/2025).

Keputusan ini mengakhiri negosiasi panjang Pemerintah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, termasuk mengirimkan tim ke Washington DC, AS, untuk negosiasi penurunan tarif dengan tenggat 1 Agustus 2025. Trump menyebut kesepakatan ini tercapai setelah berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.

Sebagai bagian dari perjanjian itu, Indonesia berkomitmen akan membeli komoditas energi AS senilai US$15 miliar atau setara dengan Rp240 triliun (kurs Rp 16.000/US$), produk pertanian US$4,5 miliar atau sekitar Rp72 triliun dan 50 unit Boeing, mayoritas jet model 777.

Baca juga: Tarif Impor AS Turun, Industri Padat Karya Indonesia Berpeluang Naik Kelas

Prasasti Center for Policy Studies yang didirikan oleh sejumlah tokoh, di antaranya Hashim Djojohadikusumo dan Burhanuddin Abdullah menyoroti hal itu.  

Research Director Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi, menilai kesepakatan ini tentu dilandasi prinsip timbal balik untuk mencapai hubungan dagang yang fair bagi kedua negara.

Indonesia bisa menjual produk di pasar AS dengan besaran tarif yang lebih rendah dari sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, sementara AS mengekspor barang produktif yang dibutuhkan industri tanah air. 

Gundy menggarisbawahi bagaimana kemampuan Indonesia mencapai kesepakatan yang sejauh ini relatif lebih baik dibandingkan negara lain sehingga diharapkan bisa membangkitkan optimisme dan meningkatkan kepercayaan investor atas prospek bisnis di Indonesia.

Efek samping lainnya akan sangat bergantung deal antara Trump dengan negara  lain yang memiliki ketergantungan tinggi dengan pasar AS, terutama di Asia seperti Vietnam dan China.

Jika kesepakatan tarif yang diraih negara negara itu ternyata tidak lebih baik dari Indonesia, maka terbuka peluang terjadinya realokasi asalkan Indonesia mampu mengoptimalkan kesempatan tersebut dengan mempermudah izin dan kepastian hukum.

Hal ini pada akhirnya bisa memacu sektor riil, pembukaan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi.

“Apalagi Trump menegaskan akan menindak keras praktik transhipment bagi para pelaku usaha yang coba coba mengakali ekspor ke AS melalui negara yang dikenakan tarif lebih rendah. Ini dapat menjadi peluang yang sangat baik untuk memperbesar foreign direct investment (FDI) yang nantinya akan memberikan dampak bagi perputaran roda ekonomi, pembukaan lapangan kerja, peningkatan konsumsi dan pertumbuhan PDB," ujarnya.

Gundy menambahkan, negosiasi AS dengan negara lain memang masih berlangsung dan bisa saja menghadirkan berbagai kejutan baru.

Namun demikian, kemampuan kita mengunci kesepakatan sebelum tenggat berakhir, dengan penurunan tarif dari 32% ke 19%, perlu diapresiasi. 

“Menariknya, deal dengan Presiden Trump tercapai di saat Presiden Prabowo terus menunjukkan posisinya yang kuat di BRICS dan aktif menjalankan diplomasi ekonomi ke Uni Eropa,” kata Gundy.

Sebagai catatan, selain sukses mencapai kesepakatan dengan AS, Presiden Prabowo juga berhasil melobi Uni Eropa dalam perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) setelah melalui proses negosiasi panjang selama lebih dari 10 tahun. Kesepakatan ini memungkinkan Indonesia mengakses pasar benua biru dengan tarif 0%.

“CEPA merupakan bentuk kemitraan ekonomi menyeluruh yang sepadan dengan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement). Perjanjian ini memungkinkan produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa dengan tarif 0 persen, dan sebaliknya. Jadi kita sangat ada hubungan simbiosis mutualisme,”  kata Presiden Prabowo.

Sebelumnya Presiden Prabowo menyampaikan hasil komunikasinya dengan Trump. “Kita memahami kepentingan mereka [AS].

Mereka memahami kepentingan kita dan kita sepakati sekarang tarifnya dari 32 [persen] diturunkan jadi 19 [persen],” ujar Presiden Prabowo dilansir Setpres (16/7).

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan hasil perundingan tim Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto patut disambut baik.

“Kami menyambut positif, hasilnya tentu saja cukup bagus dan kami terus akan melakukan pendalaman secara rinci terhadap dampaknya, baik untuk pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, maupun pasar keuangan,” kata Perry.

Di sisi lain, AS juga memberikan tarif 0% untuk produk impor ke Indonesia. “Impornya produktif dan tentu saja akan mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan, baik dari sisi investasi maupun sektor lainnya,” ujarnya.

Sebagai informasi, AS  adalah mitra  dagang  terbesar kedua  bagi  Indonesia.  

Dalam  5 tahun  terakhir (2020-2024),  pertumbuhan ekspor  Indonesia  ke  AS naik  dengan  rata-rata   9,71% per  tahun. Tahun  2024, total  perdagangan AS-Indonesia  mencapai  US$38,3 miliar dengan  nilai  ekspor Indonesia  ke  AS  mencapai  US$26,3  miliar dan impor dari AS ke Indonesia sejumlah US$ 12,0  miliar.

Secara keseluruhan di tahun 2024, ekspor Indonesia mencapai US$264,70 miliar, naik 2,29?ri 2023. China masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia dengan share 26,40%, diikuti AS, dan Jepang masing-masing share 11,22?n 6,59%.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved