Sabtu, 4 Oktober 2025

Penguatan Sistem Perizinan Lahan Perkebunan Dinilai Berdampak ke Iklim Investasi

Kebijakan afirmatif terkait dengan legalitas lahan usaha perkebunan harus dilakukan secara sistematis dan mengikuti seluruh prosedur perizinan

KONTAN/FRANSISKUS SIMBOLON
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT - Hamparan perkebunan kelapa sawit terlihat dari ketinggian di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Kepala Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB), Budi Mulyanto menilai ketidakpastian status hukum lahan perkebunan bisa berdampak langsung terhadap iklim investasi dan stabilitas perekonomian nasional. 

Menurutnya, penyelesaian legalitas perusahaan perkebunan yang beroperasi sebelum 2016 terutama yang sudah mengantongi izin usaha perlu dilakukan secara sistematis dan proporsional, tanpa serta-merta dianggap pelanggaran meski belum memiliki hak guna usaha (HGU).

Perusahaan perkebunan yang telah berdiri sebelum tahun 2016 dan telah memiliki izin usaha tidak serta-merta dianggap melanggar hukum meskipun belum mengantongi HGU. 

Baca juga: Komisi II DPR Sebut Negara Lemah dalam Penegakan Hukum Terhadap Penerbitan HGU/HGB Bermasalah

Penegasan ini sejalan dengan pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang merujuk pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Izin lokasi, IUP, dan HGU masing-masing berada di bawah kewenangan institusi yang berbeda, dan tidak selalu berjalan secara berurutan di lapangan.

“Kondisi di lapangan tidak selalu ideal. Banyak perusahaan yang sudah melakukan pembukaan lahan dan menanam karena sudah mengantongi IUP dan izin lokasi, namun belum memiliki HGU karena kendala administratif atau teknis," ujar Budi di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Karena itu, kata dia, ketidaktertiban administratif semacam ini tidak seharusnya menjadi masalah hukum terhadap pelaku usaha sebelum tahun 2016.

Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah langkah afirmatif dari pemerintah untuk terus merapikan sistem perizinan, memperkuat koordinasi antar instansi, dan memberikan ruang penyelesaian legalitas secara sistematis.

Budi mengingatkan bahwa apabila proses permohonan HGU tidak dilakukan secara tuntas ya harus segera dituntaskan, apabila nggak tuntas-tuntas maka akan menimbulkan “kegaduhan bisnis” yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap iklim investasi. 

“Kalau status tanahnya tidak jelas, maka wajib pajak, hak usaha, bahkan kepastian hukum yang terkait dengan berbagai usaha itu juga tidak jelas,” ujar Guru Besar IPB ini.

Menurut Budi, kebijakan afirmatif terkait dengan legalitas lahan usaha perkebunan harus dilakukan secara sistematis dan mengikuti seluruh prosedur perizinan yang berlaku lintas sektor.

Hal ini, menurutnya, menjadi kunci bagi terciptanya kepastian hukum, perlindungan usaha, serta kredibilitas investasi di sektor agraria dan perkebunan nasional.

Dia menjelaskan, penting untuk membedakan antara izin dan hak. Izin, seperti IUP atau Amdal, merupakan bagian dari rezim perizinan sektor. 

Sementara itu, HGU adalah bentuk hak atas tanah yang diberikan negara kepada pelaku usaha untuk mengelola dan memanfaatkan lahan dalam jangka waktu tertentu.

“HGU itu bukan izin. HGU adalah hak (right). Dan hak selalu datang bersamaan dengan tanggung jawab (responsibility) dan menjalankan berbagai peraturan yang ada (restriction)," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Khususnya Pasal 42, perusahaan perkebunan yang telah berdiri sebelum tahun 2016 dan telah memiliki izin usaha, tidak serta merta dianggap melanggar hukum meski belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).

“Kalau ada kebun sawit belum di-HGU pemerintah akan bersikap proporsional. Kalau kebun sawit itu berdiri sebelum tahun 2016 atau sebelum 2017, bisa jadi tidak salah perusahaannya,” ujar Nusron.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved