Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Indonesia Kena Tarif hingga 32 Persen, Ini Penjelasan Tarif Resiprokal yang Diberlakukan Trump
Donald Trump menerapkan tarif resiprokal ke beberapa negara, berikut penjelasan apa itu tarif resiprokal, dampak, dan negara-negara yang terkena tarif
TRIBUNNEWS.COM - Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) pada Rabu (2/4/2025) menyatakan bahwa AS akan memberlakukan tarif resiprokal tertanggal 9 April 2025.
Mengutip dari laman resmi The White House, Trump akan menerapkan tarif universal sebesar 10 persen untuk barang-barang asing.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak pada kebijakan tersebut.
Adapun jumlahnya adalah 32 persen di mana jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain seperti Filipina yang hanya terkena 17 persen.
Lantas apakah tarif resiprokal itu?
Tarif timbal balik atau resiprokal merupakan pajak atau pembatasan perdagangan yang dikenakan oleh suatu negara ke negara lain sebagai bentuk respons terhadap tindakan serupa yang dilakukan oleh negara tersebut.
Pemberlakuan tarif ini berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara.
Jika suatu negara menaikkan tarif terhadap barang dari negara lain, maka negara yang terdampak bisa membalasnya dengan memberlakukan tarif terhadap barang impor dari negara pertama.
Selain itu, tarif resiprokal juga dapat berguna untuk mengurangi defisit perdagangan.
Barang-barang impor akan lebih besar dan banyak dibandingkan dengan ekspor sehingga diperlukan tarif resiprokal untuk memperbaiki ketimpangannya.
Tarif ini juga dapat digunakan untuk melindungi industri lokal dengan membuat produk impor menjadi kurang kompetitif jika dibandingkan dengan produk lokal.
Baca juga: Soal Tarif Impor AS, Mensesneg: Minta Doanya, Airlangga Lagi Negosiasi
Namun tarif ini dapat menimbulkan kenaikan harga atas barang impor tertentu yang akan membatasi pilihan konsumen dan meningkatkan biaya hidup.
Dikutip dari CBS News, berikut adalah daftar lengkap negara-negara yang terkena tarif resiprokal:
China: 84 persen
Lesotho: 50 persen
Saint Pierre dan Miquelon: 50 persen
Kamboja: 49%
Laos: 48%
Madagaskar: 47%
Vietnam: 46%
Sri Lanka: 44%
Myanmar (Burma): 44%
Kepulauan Falkland: 42%
Suriah: 41%
Mauritius: 40%
Irak: 39%
Botswana: 38%
Guyana: 38%
Bangladesh: 37%
Serbia: 37%
Liechtenstein: 37%
Réunion: 37%
Thailand: 36%
Bosnia dan Herzegovina: 36%
Tiongkok: 34%
Makedonia Utara: 33%
Taiwan: 32%
Indonesia: 32%
Angola: 32%
Fiji: 32%
Swiss: 31%
Libya: 31%
Moldova: 31%
Afrika Selatan: 30%
Nauru: 30%
Aljazair: 30%
Pakistan: 29%
Pulau Norfolk: 29%
Tunisia: 28%
Kazakhstan: 27%
India: 27%
Korea Selatan: 25%
Jepang: 24%
Malaysia: 24%
Brunei Darussalam: 24%
Vanuatu: 23%
Pantai Gading: 21%
Namibia: 21%
Uni Eropa: 20%
Yordania: 20%
Nikaragua: 18%
Zimbabwe: 18%
Malawi: 18%
Israel: 17%
Filipina: 17%
Zambia: 17%
Mozambik: 16%
Norwegia: 16%
Venezuela: 15%
Nigeria: 14%
Chad: 13%
Guinea Khatulistiwa: 13%
Kamerun: 12%
Republik Demokratik Kongo: 11%
Tidak Ada Kaitan BRICS
Istana melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan penerapan tarif impor AS terhadap Indonesia sebesar 32 persen tidak ada kaitannya dengan keanggotaan BRICS.
"Kalau menurut pendapat kami sesungguhnya tidak ada," kata Prasetyo di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat, (11/7/2025).
Menurutnya, tingginya tarif Impor AS, tidak hanya berlaku bagi Indonesia saja melainkan juga banyak negara.
Selain Indonesia, negara lain yang juga diumumkan terkena tarif Impor AS tersebut yakni Filipina sebesar 20 persen, Brunei 25 persen, Moldova 25 persen.
Lalu Libya, Irak, Aljazair, Sri Lanka 30 persen, dan Brasil sebesar 50 persen.
"Karena itu kan kalau saudara-saudara perhatikan kan tidak hanya berlaku untuk Indonesia kan begitu," katanya.
Selain itu, kata Prasetyo, tarif Impor AS sebesar 32 persen tersebut diputuskan sebelum Indonesia resmi dinyatakan sebagai anggota penuh BRICS.
"Dan pengenaan tarif 32 persen itu pun kan jauh-jauh hari sebelum kita dinyatakan menjadi anggota penuh BRICS. Saya pikir nggak ada hubungannya gitu," paparnya.
Pemerintah pun disebutnya terus melakukan negosiasi dengan otoritas Amerika Serikat terkait dengan kebijakan tarif impor 32 persen untuk Indonesia.
"Ya, tarif impor minta doanya. Minta doanya tim ekonomi kita sedang berada di Amerika dipimpin oleh Pak Menko Airlangga untuk terus melakukan upaya negosiasi," kata Prasetyo.
Pemerintah Indonesia kata Prasetyo berharap kebijakan tarif Impor AS terhadap Indonesia sebesar 32 persen tersebut dapat berkurang.
Sehingga, harga produk Indonesia di pasar AS dapat bersaing.
"Intinya adalah kita berharap apa yang menjadi kebijakan Pemerintah Amerika Serikat dapat ditinjau kembali sehingga memberikan keuntungan bagi perdagangan kita," katanya.
"Kita betul-betul berharap itu Pemerintah Amerika dapat mempertimbangkan," katanya.
Sebelumnya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan memberikan tarif tambahan sebesar 10 persen, kepada BRICS maupun negara-negara yang mendukung kebijakan anti-Amerika.
Pernyataan tersebut termuat dalam unggahan di media sosial Truth Social pada Minggu (6/7) kemarin.
"Negara mana pun yang mendukung kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan Tarif TAMBAHAN sebesar 10 persen," tulis Trump.
"Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini!" imbuhnya.
Adapun negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan BRICS adalah Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.
Sementara BRICS telah memperluas keanggotaannya pada 2024, Indonesia termasuk didalamnya. Enam negara baru itu meliputi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Ethopia dan Mesir.
(mg/Rohmah Tri Nosita)
Penulis adalah peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.