Senin, 29 September 2025

Menperin Ingatkan Dampak Perang Iran-Israel ke Industri Dalam Negeri

Sektor industri perlu memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor.

Lita/Tribunnews
MITIGASI PERANG IRAN-ISRAEL - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi.

Agus Gumiwang berujar, mitigasi juga dibutuhkan mengantisipasi gangguan pada rantai pasok global terutama pada rantai pasok bahan baku industri karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati timur tengah yang sedang dilanda konflik terbuka saat ini.

Menurut Agus Gumiwang, industri manufaktur juga memitigasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang yang berakibat terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri.

Bagi sektor industri, energi merupakan komponen vital sebagai sumber energi di proses produksi, serta sebagai bahan baku juga dalam proses produksi.

"Industri dalam negeri diminta lebih efisien dalam penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri," ujar Menteri Agus Gumiwang di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Menurut dia, hal ini juga sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan Presiden Prabowo.

Agus Gumiwang mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi.

Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan.

"Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif," tutur Agus.

Bahkan, Kemenperin terus mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.

Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global.

Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Ketiga faktor ini yakni logistik, inflasi, dan nilai tukar, secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor."

"Jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor," imbuh Agus.

Agus menegaskan, industri manufaktur nasional tidak hanya akan difokuskan hilirisasi sektor agro untuk menghasilkan produk pangan, tetapi juga diarahkan untuk berperan aktif berinovasi menemukan teknologi produksi pangan lebih efisien sehingga menciptakan nilai tambah lebih tinggi didalam negeri.

Hilirasi produk agro guna mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan juga menjadi program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan industri manufaktur harus berkontribusi untuk mencapai tujuan tersebut.

Baca juga: Industri Pertahanan Lokal Buka Peluang Kerja Sama dengan Turki, Kembangkan Persenjataan Laut & Udara

Menperin juga menghimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan fasilitas LCS (Local Currency Settlement) menghadapi inflasi dalam input produksi.

Industri dapat memanfaatkan fasilitas BI (Bank Indonesia) tersebut guna mengantisipasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama pada negara-negara yang telah menandatatangi LCS dengan Indonesia.

Eskalasi konflik militer antara Iran dengan Israel telah memicu gangguan signifikan di pasar global, tak terkecuali bagi sektor manufaktur menghadapi resiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik dan pelemahan permintaan ekspor.

Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, dan gangguan rantai pasok bahan baku.

Baca juga: Serap Tenaga Kerja Paling Banyak, Ekonom Sarankan Industri Tekstil Dapat Treatment Spesial 

Dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi, di mana peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama—yang menyumbang hampir 30 persen produksi global—membuat pasar waspada.

Gangguan pada produksi energi Iran yang produksinya mencapai 3,2 juta barel per hari akan memicu  gangguan pasokan sekaligus memicu fluktuasi harga energi dipasar internasional.

Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara 73 dolar AS hingga 92 dolar AS per barel paska perang Iran-Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20 persen pada 2025.

Volatillitas harga energi dunia ini juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur pasokan energi dunia.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan