Permenkes tentang Rokok
Belum Ratifikasi FCTC, Kemenkes Malah akan Adopsi Aturannya untuk RPMK
Pemerintah Indonesia sendiri belum meratifikasi FCTC. Sementara itu, RPMK ini malah berkaca pada perjanjian internasional tersebut.
Penulis:
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor:
Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengadopsi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pemerintah Indonesia sendiri belum meratifikasi FCTC. Sementara itu, RPMK ini malah berkaca pada perjanjian internasional tersebut.
Adapun hal itu diungkap oleh Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Aftifudin.
Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik di Tahun 2025, RPMK Masih jadi Sorotan
Ia mengatakan, pada 3 September lalu, Kemenkes menggelar public hearing via luring dan daring. Mereka mengatakan bahwa Rancangan Permenkes berkaca dari negara-negara lain yang sudah meratifikasi FCTC.
"Nah, Indonesia belum dan tidak akan meratifikasi FCTC. Jadi ngapain kemasan rokok akan dibuat sedemikian anehnya,” kata Atfi, dikutip Senin (30/9/2024).
Salah satu peraturan yang diadopsi dari FCTC adalah pelarangan iklan produk tembakau dan rokok elektronik di media sosial berbasis digital yang tercantum dalam RPMK Tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik Pasal 23 ayat 3.
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengungkap bahwa peraturan tersebut diadopsi dari FCTC.
"Ada beberapa hal yang dari FCTC kita belum sepenuhnya lakukan. Misalnya kalau di FCTC itu melarang sama sekali, di Indonesia kita belum larang, iklan di media sosial. Itu kita larang, yang lain kita kendalikan. Salah satunya seperti itu," kata Nadia dalam acara diskusi di Jakarta pada Senin malam ini.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita, ketentuan larangan menjual produk tembakau alternatif di media sosial akan memberatkan pengusaha kecil dan menengah.
Garindra menjelaskan industri produk tembakau alternatif merupakan industri kecil yang mayoritas pelaku usahanya tergolong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta berbasis komunitas.
Menurutnya, dengan adanya larangan menjual di media sosial, maka semakin mempersempit ruang pelaku usaha untuk mengedukasi konsumen.
Mengutip PP 28/2023 pada Pasal 434 Ayaf F disebutkan bahwa “setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Baca juga: Ekonom Sebut Negara Berpotensi Kehilangan Pendapatan Besar Akibat Kemasan Rokok Polos
"Dengan pasal-pasal yang ada justru semakin lebih berat karena kami menggunakan media sosial untuk mengedukasi konsumen dewasa. Produk kami memenuhi unsur edukasi, tapi kalau dilarang beriklan bagaimana kami bisa memerangi produk ilegal?” kata Garindra.
Garindra melanjutkan, perilaku konsumen produk tembakau alternatif memiliki karakteristik tersendiri.
Permenkes tentang Rokok
Komisi IV DPR: PP Kesehatan Berdampak Luas Terhadap 2,3 Juta Tenaga Kerja Industri Hasil Tembakau |
---|
Akademisi: Peraturan Pemerintah Tidak Boleh Bertentangan dengan Undang-undang |
---|
Kemenko Perekonomian Minta Pembahasan Permenkes Libatkan Petani dan Industri |
---|
APTI: Kemasan Rokok tanpa Merek bakal Gerus Industri Tembakau Lokal |
---|
Pakta Konsumen Nasional: Konsumen Produk Tembakau Butuh Keadilan dalam Regulasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.