Jumat, 3 Oktober 2025

Analis: Bursa Saham Dunia Menguat Terdorong oleh Kenaikan Suku Bunga The Fed

Analis pasar modal Hans Kwee meyakini kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed akan efektif menurunkan inflasi. 

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (30/8/2022). Pasar saham Asia Tengah, China, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan tertekan selama periode penguncian China.  TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivitas sektor jasa di Amerika Serikat (AS) turun mengimbangi data tenaga kerja AS yang solid dinilai memberikan harapan bahwa Bank Sentral AS atau The Fed tidak akan agesif menaikkan suku bunga. 

Analis pasar modal Hans Kwee meyakini kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed akan efektif menurunkan inflasi. 

Dia mengatakan hal tersebut tidak menimbulkan banyak masalah terhadap pasar tenaga kerja karena ekonomi masih menciptakan lapangan pekerjaan. 

"Hal tersebut mendorong mayoritas bursa global menguat di akhir pekan lalu," ujar Hans melalui risetnya, Senin (9/1/2023). 

Dia mengatakan, pasar saham Asia Tengah, China, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan tertekan selama periode penguncian China. 

"Saat ini pembukaan ekonomi negara tersebut membuat valuasi pasar saham Asia Tengah lebih murah dan menimbulkan tekanan capital outflow dari pasar Asia Tenggara termasuk Indonesia," ujarnya.

Sebelumnya IMF menyarankan kepada The Fed agar terus mengambil langkah hawkish dengan menaikkan laju suku bunga sampai inflasi di negeri Paman Sam itu mereda.

Menurut Gopinath, penting bagi The Fed untuk terus mempertahankan kebijakan moneter yang ketat hingga laju inflasi di Amerika dapat stabil di kisaran 2 persen seperti yang telah diproyeksikan bank sentral AS sebelumnya.

Baca juga: Inflasi Eropa Melandai Jadi 9,2 Persen, ECB Pilih Kencangkan Suku Bunga Acuan

“Inflasi di Amerika Serikat belum mereda dan masih terlalu dini bagi Federal Reserve untuk mengakhiri suku bunga di Negeri Paman Sam.” wakil direktur pelaksana IMF Dr. Gita Gopinath seperti yang dikutip dari Straitstimes.

Meningkatnya biaya pangan dan tagihan listrik di Amerika selama setahun terakhir telah memicu munculnya lonjakan laju inflasi, hingga melesat ke level tertinggi dalam 41 tahun terakhir yakni  di kisaran 9,1 persen pada Juni 2022 lalu.

Kenaikan ini yang kemudian mendorong The Fed untuk memperketat kebijakan suku bunga selama tujuh bulan berturut-turut, dimulai dari Maret lalu dimana The Fed mengumumkan kenaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin.

Baca juga: Indeks Saham Bursa Wall Street Menghijau, Terdorong Kenaikan Upah Pekerja di AS

Kemudian di bulan Mei 2022 The Fed kembali memperketat kebijakan dengan membawa suku bunga ke kisaran 50 basis poin.

Baca juga: The Fed Beri Sinyal Hawkish, Suku Bunga AS di 2023 Bakal Dikerek di Atas 5 Persen

Melanjutkan kenaikkan di bulan sebelumnya selama Juni, Juli, September, dan November The Fed kembali memacu suku bunga dengan masing–masing kenaikkan sebanyak  75 persen.

Sayangnya, pada risalah di tanggal 13 sampai 14 Desember kemarin, The Fed mengerek turun laju suku bunga jadi 50 basis poin, meski pengetatan moneter ini masih dianggap tinggi oleh para pelaku pasar hingga membuat pergerakan saham di bursa Wall Street mencatatkan rapor merah di akhir tahun 2022.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved