Inspirasi Bisnis
Sri Sujarwati Meraih Omset Ratusan Juta dari Olahan Salak Pondoh
“Saya prihatin, harga buah salak pondoh terus ‘terjun bebas’ saat panen raya,” terang Sujarwati.
Olahan bubuk biji salak berwarna hitam itu bermula dari kondisi Sujarwati yang sempat jatuh koma akibat kelelahan. Ia juga punya riwayat diabetes, kolesterol serta asam urat.
“Asam urat saya tinggi, kadar gula darah bahkan pernah sampai 1000mg/dl. Saya jatuh sakit dan koma di rumah sakit,” terang Sujarwati.
Kopi Salak
Beruntung, Sujarwati masih diberi umur panjang. Setelah beberapa saat berobat ke dokter, suatu hari ia ingat kearifan lokal yang diajarkan orang tua.
"Zaman orang tua saya, diabetes diobati dengan merebus salak muda berikut tunas pohon salak. Tapi saya tidak tega merebus tunas salak yang menghidupi saya,” katanya.
Tahun 2012, ia mencoba menyangrai biji salak lalu ditumbuk dan diayak. Hasilnya menyerupai bubuk kopi. Ia pun meminum bubuk biji salak itu sehari tiga kali.
Ternyata kadar gula darah, asam urat, dan kolesterolnya turun drastis. Kadar gula darah misalnya, turun dari 1000mg/dl menjadi 800mg/dl, lalu 600mg/dl, sampai akhirnya ke titik normal.
Belakangan setelah melalui uji laboratorium, ternyata biji salak mengandung antioksidan, tinggi serat, dan bermanfaat sebagai pencahar.
“Pernah saya minum sehari enam kali, lemak di perut saya keluar. Tapi cuma sekali. Perut saya terasa enak dan tidak buncit lagi.”
Pasca penemuan manfaat bubuk biji salak, ibu dua anak ini kedatangan tamu guru besar dari LPPP UGM, salah satunya Prof. Wahyu Sukartono, yang ternyata juga mengajar di Jerman.
“Setelah saya ceritakan manfaat biji buah salak, tahun 2014 Pak Wahyu membawa bubuk biji salak itu ke Jerman untuk diuji di laboratorium.”
Hasilnya, ternyata kopi salak tidak mengandung kafein karena memang bukan kopi. Ia juga mengandung plafonoit yang mampu memperbaiki sel-sel yang rusak. Selain itu juga mengandung pectin yang bermanfaat sebagai antikanker.
Naik Turun Usaha
Dari sini, Sujarwati pun mulai berani meluncurkan produk kopi biji salak. “Ternyata sambutan pasarnya baik. Saya jual per ons Rp25 ribu untuk 15 kali minum.
Sekarang sudah dikemas dengan aluminium foil sehingga menarik,” lanjut Sujarwati yang tak pernah kekurangan bahan baku kopi salak karena semua olahan pangan yang ia produksi menghasilkan limbah biji salak.