Sabtu, 4 Oktober 2025

'Surat Sakti' Eks Kepala BP Migas Paksa Bos Total ke Luar Indonesia

mantan Kepala BPH Migas Raden Priyono membeber fakta-fakta yang sangat antikepentingan asing

zoom-inlihat foto 'Surat Sakti' Eks Kepala BP Migas Paksa Bos Total ke Luar Indonesia
NET
Kepala BP Migas R Priyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) genap setahun dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) . Putusan MK 13 November 2012, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menaungi BP Migas dinilai prokepentingan asing sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Rabu (13/11/2013) silam, mantan Kepala BPH Migas Raden Priyono membeber fakta-fakta yang sangat antikepentingan asing.

Tudingan prokepentingan asing pada BP Migas, terlebih kepada pribadinya, membuat Priyono tak habis pikir. Sebagai institusi, Priyono menyebut BP Migas memiliki tugas pokok sebagai pengawas dan pengendali kontrak kontrak kerja para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) baik asing maupun dalam dalam negeri.

"Kami menerima kontrak,  semua diawasi, diawasi saja, seperti Pertamina, Exxon. Itu fungsi kami. Setelah wilayah kerja ditentukan dari Dirjen Migas banyak sekali yang harus diawasi. Siapa saja yang menang tender, BP Migas tidak punya kewenangan menentukan apakah harus nasional atau asing. Tugas kami hanya mengawasi," kata Priyono pada Tribunnews.com di City Plaza.

Soal tuduhan sebagai pribadi yang cenderung condong memihak pihak luar, Priyono membantahnya. Ia menyebut saat menjabat sebagai Kepala BP Migas, ia mengedepankan azas profesionalitas bagi tiap perusahaan. Bagi Priyono, sebagai badan usaha, para K3S penuh risiko yang bisa merugikan negara. Hal itulah yang ia jaga.

Priyono punya cerita soal bagaimana ia justru 'galak' terhadap sejumlah K3S asing. Kisah Petronas dan Bunda Putri ia sebut sebagai satu di antara bentuk sikapnya. Tak hanya itu, Priyono juga menuturkan pernah berpolah tegas pada Presiden Total E&P Indonesie, Philip Armand sebelum posisi itu dijabat Elisabeth Proust.

Saat itu disebutkan, Total disebutkan mengalami kelebihan kuota gas dari lapangan gas Tunu. Priyono menyebut, Philip berniat menjual kelebihan itu ke Jepang atas alasan perbedaan harga yang sangat mencolok. Namun Priyono menentang rencana tersebut.

"Saya bilang, enggak itu harus buat (kebutuhan nasional). Ini ikut kontrak baru, bukan kontrak yang lama. Apalagi akan ada peresmian Tunu Phase X oleh presiden. Pak Purnomo (menteri ESDM saat itu) bilang, ini harus sudah beres saat presiden meresmikan. Tapi Total tetap menolak," kata Priyono.

Priyono menyebut langsung menyiapkan dua surat yang wajib dipilih Philip atas konsekuensi tak mau menuruti keinginan pemerintah. Dua surat itu adalah 'surat sakti' bagi sang bos Total.

"Saya bilang enggak apa-apa jika tak mau tanda tangan. Tapi saya siapkan dua surat. Satu surat adalah surat pernyataan persetujuan memberikan kelebihan gas, satu surat lagi sayan saya tujukan ke Dirjen Imigrasi untuk mengantar Mr Philips keluar secara baik-baik dari negara ini. Besok dia dideportasi," kata Priyono.

Surat itu ampuh membuat Philip luluh. Kelebihan gas akhirnya bisa dipakai untuk kebutuhan nasional. Selain insiden 'surat sakti' untuk presiden Total, kejadian serupa juga pernah ditujukan untuk Presiden British Petroleum. Soal kasus BP, surat bertanda tangan Priyono yang berisi tata cara pengeluaran BP dari Indonesia pernah bocor ke media.

Adapun soal tudingan korupsi di BP migas saat ia menjabat, Priyono menegaskan operasional lembaga ia pimpin yang  tidak memakai uang negara,

"Tidak masuk APBN, korupsi dari mana? Itu uangnya perusahaan migas. Kita memang dialokasikan anggaran, kalau bermain di alokasi biaya, itu penyelesaiannya bukan seperti itu. Kalau salah atau korupsi silakan tangkap seperti Rudi Rubiandini, bukan badannya yang dibubarkan. Pendekatan bukan seperti itu, kalau ada salah ya insitusinya diperbaiki. Pihak yang membubarkan tidak tahu konsekuensinya apa bagi perekonomian negara," kata Priyono.

Terkait kondisi SKK Migas sebagai badan pengganti BP Migas, Priyono mengungkapkan kekhawatirannya. Tak cuma soal kepentingan politik yang lebih kuat, secara sistem, negara dalam kondisi rawan dalam bisnis hulu migas.

"Pemerintah berhadapan langsung dengan pengusaha asing, nanti kalau ada satu keputusan yang lama, kemudian operasi merugikan, arbitrase didepan mata, negara enggak punya bumper lagi. Negara itu yang punya aset. Contohnya kejadiannya seperti Karaha Bodas Company dimana Pertamina yang bermasalah, semua kedutaan kita yang di tutup jadi jaminan. Kalau BP Migas kan tidak diberikan aset, mau disita apanya?" kata Priyono.

Posisi SKK Migas yang tak independen dan masuk menjadi sub-ordinate di bawah Kementerian ESDM juga dicemaskan rawan kepentingan politik. Priyono menyiratkan, ia memahami kondisi adanya 'permintaan' dari sejumlah stakeholder sebagai konsekuensi sistem politik yang ada.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved