Di Balik Lobi Syahrul ke Singapura
Siapa yang Mengatur Pertemuan Menteri Singapura dan Syahrul?
CERITA pembukaan rute Makassar-Singapura bermula dari Bugis Junction Tower, markas IES. Lembaga inilah yang meyakinkan otoritas Bandara Changi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dahlan Dahi, dari Singapura
SYAHRUL melakukan pendekatan “dolar” tersebut sekaligus menawarkan berbagai kemudahan yang mungkin. Itu diulangi pada setiap kesempatan bertemu pengusaha dan menteri Singapura.
Dua tema besar di sini. Satu, Makassar punya potensi di bidang wisata budaya dan laut (ada 200-an pulau yang bisa menjadi tujuan wisata eksotik), potensi tambang, salah satu penghasil beras terbesar di Indonesia, dan salah satu eksportir kakao terbesar di Indonesia.
Kedua, regulasi. Singapura mengira bahwa berurusan dengan Sulsel harus lewat Jakarta. Syahrul bilang tidak. Lewat Makassar saja. Urusan Jakarta nanti ditangani Pemprov Sulsel.
Pendek kata: Makassar punya tanah murah, tenaga kerja murah, potensi agribisnis dan tambang, serta obyek wisata alam dan budaya. Singapura punya uang, 10 juta turis asing yang berkunjung setiap tahun, salah satu urat nadi ekonomi dunia, serta daerah tujuan wisata utama Indonesia, termasuk dari kota-kota di Indonesia timur. Singapura juga memikat karena menyediakan pelayanan kesehatan berstandar tinggi.
Bagaimana mengawinkannya? Tentu saja tidak semudah berpidato. Konsep ini pun tidak benar-benar baru. China memakai Shenzen untuk menyedot industri dan wisatawan dari Hongkong. Negara ini, seperti Singapura, serba mahal. Tanah mahal, tenaga kerja mahal, hotel mahal, listrik mahal, air mahal, bahkan parkir pun mahal.
Shenzen seperti Makassar. Punya tanah, hasil pertanian, tenaga kerja murah, air murah, listrik murah. Semua murah. Habibie merintis pola Shenzen-Hongkong ini ketika membangun Batam. Ia ingin menyedot industri Singapura ke Batam. Walhasil, Batam yang semula menjadi tempat pembuangan mayat disulap menjadi kota industri.
Pada titik start, Makassar lebih maju dari Shenzen dan Batam. Makassar tidak memulai dari nol. Kota hub Indonesia timur ini sudah memiliki infrastruktur seperti pelabuhan, bandara, jalan tol, air bersih, dan listrik. Lapangan golf berstandar internasional dan hotel bintang lima pun sudah tersedia. Kawasan industri apalagi.
Tapi inilah bedanya. Shenzen hanya dipisahkan laut dan bisa dihubungkan dengan jembatan yang pendek. Jarak Batam-Singapura juga begitu dekat.
Makassar? Dengan penerbangan 2,5 jam pun masih terasa lebih lama. Apalagi kalau dengan transportasi laut. Karena jarak ini, Medan, misalnya, masih lebih hebat dari Makassar. Sayur dan buah-buahan khas Brastagi bisa dikapalkan dengan cepat ke Singapura atau Penang di Malaysia. Bagaimana dengan sayur di Malino? Pasti lebih lama. Karena itu, lebih mahal pula ongkos transportnya.
Untunglah Makassar punya beras dan kakao. Dari sisi jumlah dan kualitas produksi, beras dan kakao Sulsel memenuhi kualifikasi komoditi ekspor. Demikian pula hasil-hasil perikanan.
Dari sanalah Syahrul memulai jualannya. Ini diulang-ulang setiap kali bertemu pejabat dan pengusaha Singapura dalam kunjungan dua hari.
LOBI Singapura dimulai dengan mengetuk pintu Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Kantor perwakilan Indonesia ini diperlukan untuk mendapatkan stempel resmi yang memudahkan berkomunikasi dengan pemerintah Singapura.
Jaringan KBRI di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta juga sangat berguna bagi tim Sulsel yang dikoordinir Irman Yasin Limpo dari badan koordinasi dan penanaman modal daerah (BKPMD).
Dari sanalah terbuka pintu ke IES, International Enterprise Singapura. Ini lembaga pemerintah. Fungsi koordinatifnya dengan asosiasi-asosiasi pengusaha menyerupai Kadin di Indonesia.