Waktu Kecil Saya Tidak Mau Dipanggil Dengan Nama China. Kini Saya Paham Alasannya
Lin Fu Zhen, nama pemberian kakek saya yang merantau dari China, selalu saya tolak karena terdengar berbeda dengan nama-nama Indonesia…

Ketika berusia tujuh tahun, ia mengingat kepanikan orang tuanya di tengah kekacauan tahun 1998.
"Ingat beberapa hari enggak keluar. Begitu keluar, ada mobil sudah hitam, gosong, tinggal kerangkanya doang," ujarnya kepada saya.
"Takut lah, maksudnya anak kecil melihat hal-hal begitu, saya merasa tidak aman tinggal di Jakarta sampai beberapa tahun kemudian."
Di Sumatra, kami beruntung tidak mengalami kekerasan, tetapi secara tidak sadar, kami sebetulnya trauma.
Saya ingat ketika keluarga saya mulai was-was saat para pengunjuk rasa dalam gerakan 212 menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk mengundurkan diri dari jabatannya atas tuduhan penistaan agama.
Saya belajar dari Pak Udaya Halim, ketua komunitas Peranakan Tionghoa Warga Indonesia (PERTIWI) dan seorang sejarawan, kenyataan bahwa nenek moyang saya mungkin trauma akibat perlakuan yang dialami mereka.
Sejak pergantian presiden pada tahun 2000-an dan seterusnya, kebijakan anti-Tionghoa ini dicabut.
Sebagai seorang Tionghoa yang mengalami sendiri masa-masa diskriminasi sistemik ini, Pak Udaya mengatakan kakek-nenek saya mungkin tidak membahas apa yang terjadi di masa lalu karena takut pengalaman itu meninggalkan bekas pada anak-anak mereka, atau diri mereka sendiri.
Bahkan mungkin saja mereka ingin menghapus ingatan menyakitkan tersebut dengan memutus hubungan dengan kebudayaan mereka.
Pak Udaya memahami bahwa apa yang terjadi pada warga Tionghoa adalah hal yang tragis, namun menurutnya secara kolektif warga Tionghoa "tidak boleh juga menjadi anti kepada orang-orang yang pernah mendiskriminasi kita."
Menurutnya kedua sisi harus belajar bersama-sama dan memastikan bahwa kekerasan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi.
Tempat yang menyenangkan
Menurut saya lucu bagaimana orang-orang sering bingung ketika melihat saya: wajah China, tapi kewarganegaraan Indonesia.
Di Australia, saya sering didatangi Opa atau Oma yang berbahasa Mandarin, yang menyapa saya dengan "ni hao?"
Belum sempat membalas, mereka langsung berkicau dalam bahasa Mandarin sampai saya berkata: "Sorry, I don't speak Chinese", atau "Maaf, saya tidak bisa berbicara bahasa Mandarin."
Beberapa bulan yang lalu, seorang pria yang baru pertama kali bertemu dengan saya menanyakan saya bekerja di restoran China yang mana.
Saya menjawab dalam bahasa Inggris: "Oh, saya bekerja di media dan saya orang Indonesia."
Ia agak terkejut dengan jawaban saya, tapi bersikap biasa saja dan mulai membahas pekerjaan saya.
Ada juga pertanyaan klasik, ketika saya ditanya saya asalnya dari mana.
Ketika saya bilang "Indonesia", mereka diam, terlihat bingung, dan seolah menunggu sampai saya berkata: "Ya, saya keturunan China."
Lalu mereka terlihat lega.
Jujur, saya sempat merasa tidak nyaman dengan identitas Tionghoa saya.
Tapi Pak Udaya bilang saya tidak boleh menyangkalnya.
Ia mengatakan saya bukanlah satu-satunya orang Tionghoa yang merasa hilang karena tidak bisa berbahasa nenek moyang.
Saya diingatkan bahwa masa lalu dan lingkungan adalah dua hal yang membawa saya sampai hari ini.
"Kita harus memahami masa lalu untuk mengerti masa kini, untuk merangkai masa depan," ujar Pak Udaya.
Ini yang sedang saya lakukan sekarang.
Saat menulis artikel ini, rekan kerja saya dari ABC Chinese memberitahu arti nama Lin Fu Zhen (林福镇): "tempat yang menyenangkan."
Mungkin di situlah saya berada sekarang, setelah mempelajari identitas saya dan mengapa saya harus menerimanya. Selangkah demi selangkah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.