Waktu Kecil Saya Tidak Mau Dipanggil Dengan Nama China. Kini Saya Paham Alasannya
Lin Fu Zhen, nama pemberian kakek saya yang merantau dari China, selalu saya tolak karena terdengar berbeda dengan nama-nama Indonesia…

Lin Fu Zhen (林福镇).
Itulah nama yang dipilih orang tua saya dari daftar nama China yang ditulis Kung-kung, panggilan saya untuk kakek, bagi para cucunya.
Kung-kung mewariskan lebih dari 10 nama yang mengandung doa dan harapan bagi kami.
Saya tidak pernah bertemu Kung-kung, yang meninggal dunia dua tahun sebelum saya lahir pada tahun 1997.
Keluarga saya mengatakan Kung-kung pindah dari Fujian lebih dari 60 tahun yang lalu untuk menghindari situasi ekonomi di China.
Waktu saya masih kecil, orang-orang memanggil saya Zhen-Zhen, kependekan dari Lim Fu Zhen.
Ketika menginjak usia lima tahun, saya mulai menyadari bahwa nama seperti ini tidak banyak dipakai oleh teman-teman sebaya saya di sekolah.
Di situlah saya mulai menolaknya.
Dulu Mami dan anggota keluarga saya lainnya terus mencoba merayu saya untuk dipanggil Zhen-Zhen.
Mereka bilang nama itu artinya "cantik", yang sesungguhnya tidak benar. Usaha ini pun tidak mempan.
Saya hampir tidak pernah melihat nama seperti ini di film, sinetron, atau pun buku cetak di sekolah.
Nama seperti ini pun jarang muncul di soal Matematika yang sering saya temukan. Kira-kira bunyinya begini:
"BUDI pergi ke pasar dan membeli lima jeruk. Ia memberikan dua pada SITI, dan satu untuk EKA. Berapa jumlah jeruk BUDI sekarang?"
Budi, Eka, Siti, semuanya nama Indonesia.
Saya tidak pernah melihat nama seperti Lin Fu Zhen, atau Zhen-Zhen di buku cetak, setidaknya selama saya masih di bangku sekolah.
Sepertinya saya justru lebih sering menemukan nama John dan Mary ketimbang nama-nama seperti itu.
"Saya lebih suka nama Natasya", pikir saya.
Keputusan saya sudah bulat dan saya lumayan ngotot soal ini.
Entah bagaimana, saya merasa ini adalah bentuk penolakan terhadap identitas saya sebagai orang Tionghoa.
Memang, pengetahuan Mandarin saya sangatlah terbatas karena tidak diajarkan di rumah.
Mami berbahasa Khek, tapi ia tidak mengajarkannya kepada saya.
Setiap karaoke di rumah saudara, mereka pasti menyanyikan lagu Tian Mimi atau Yuèliang Dàibiǎo Wǒ de Xīn.
Tapi apakah saya mengerti isi lagunya? Tidak.
Orang tua saya merasa kemampuan bahasa Mandarin ini tidak terlalu bermanfaat bila dibandingkan dengan bahasa Inggris.
Perlakuan terhadap Tionghoa di masa lalu
Tapi saya paham mengapa mereka berpikir begitu.
Sejarah mencatat bahwa dulu orang Tionghoa tidak diperlakukan dengan baik oleh negara.
Pada tahun 1966, mereka diminta untuk mengubah "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" mereka, di tengah kecurigaan bahwa orang Tionghoa masih memiliki hubungan yang kuat dengan China dan komunisme.
Surat ganti nama sangatlah penting untuk bisa mendapatkan dokumen resmi, seperti KTP atau paspor.
Setahun setelahnya, bahasa Mandarin dilarang menjadi bahasa pengantar di sebagian besar surat kabar.
Bahasa Mandarin bahkan tidak dapat digunakan sebagai nama toko.
Sekolah-sekolah Tionghoa juga ditutup.
Pada zaman Presiden Suharto, orang Tionghoa dipaksa untuk berasimilasi dengan mayoritas warga Indonesia.
Selama lebih dari tiga dekade, orang Tionghoa hanya dapat merayakan Tahun Baru Imlek dan kegiatan keagamaan secara tertutup, atau bersama keluarga.
Kebijakan asimilasi ini berlaku selama bertahun-tahun, dan berperan dalam kekerasan yang menargetkan warga Tionghoa dalam kerusuhan intens yang berlangsung dalam waktu dua hari.
Unjuk rasa dan kerusuhan mahasiswa besar-besaran terjadi di Indonesia pada tanggal 13 Mei 1998.
Amarah terhadap pemerintahan otoriter Suharto atas isu-isu seperti korupsi, kekurangan pangan, dan pengangguran massal dilampiaskan kepada warga Tionghoa.
Toko dan rumah mereka jadi sasaran.
Komunitas etnis Tionghoa ditargetkan karena stereotip mereka sebagai orang kaya. Sebagian dituduh sebagai penyebab keruntuhan ekonomi setelah krisis keuangan Asia.
Setidaknya 1.000 orang tewas dan 400 perempuan etnis Tionghoa dilaporkan diperkosa dalam dua hari yang brutal di Jakarta.
Ketika semuanya terjadi, usia saya masih satu tahun. Saya tidak tahu apa-apa.
Mungkin ketika semua ini terjadi, saya sedang bermain atau tidur siang di ruko orang tua saya di Lampung.
Ketika beranjak dewasa, saya mempelajari bahwa ketegangan ini juga terjadi di daerah selain ibu kota.
Papi mengatakan dulu beberapa perumahan di Lampung yang dihuni banyak warga Tionghoa dikawal petugas keamanan.
Namun, kami lebih beruntung daripada saudara-saudara kami di Jakarta, yang tinggal lebih dekat dengan titik kerusuhan.
Sepupu saya Jessica Salim tinggal di daerah yang sekitar 90 persen penduduknya adalah orang Tionghoa.
Ketika berusia tujuh tahun, ia mengingat kepanikan orang tuanya di tengah kekacauan tahun 1998.
"Ingat beberapa hari enggak keluar. Begitu keluar, ada mobil sudah hitam, gosong, tinggal kerangkanya doang," ujarnya kepada saya.
"Takut lah, maksudnya anak kecil melihat hal-hal begitu, saya merasa tidak aman tinggal di Jakarta sampai beberapa tahun kemudian."
Di Sumatra, kami beruntung tidak mengalami kekerasan, tetapi secara tidak sadar, kami sebetulnya trauma.
Saya ingat ketika keluarga saya mulai was-was saat para pengunjuk rasa dalam gerakan 212 menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk mengundurkan diri dari jabatannya atas tuduhan penistaan agama.
Saya belajar dari Pak Udaya Halim, ketua komunitas Peranakan Tionghoa Warga Indonesia (PERTIWI) dan seorang sejarawan, kenyataan bahwa nenek moyang saya mungkin trauma akibat perlakuan yang dialami mereka.
Sejak pergantian presiden pada tahun 2000-an dan seterusnya, kebijakan anti-Tionghoa ini dicabut.
Sebagai seorang Tionghoa yang mengalami sendiri masa-masa diskriminasi sistemik ini, Pak Udaya mengatakan kakek-nenek saya mungkin tidak membahas apa yang terjadi di masa lalu karena takut pengalaman itu meninggalkan bekas pada anak-anak mereka, atau diri mereka sendiri.
Bahkan mungkin saja mereka ingin menghapus ingatan menyakitkan tersebut dengan memutus hubungan dengan kebudayaan mereka.
Pak Udaya memahami bahwa apa yang terjadi pada warga Tionghoa adalah hal yang tragis, namun menurutnya secara kolektif warga Tionghoa "tidak boleh juga menjadi anti kepada orang-orang yang pernah mendiskriminasi kita."
Menurutnya kedua sisi harus belajar bersama-sama dan memastikan bahwa kekerasan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi.
Tempat yang menyenangkan
Menurut saya lucu bagaimana orang-orang sering bingung ketika melihat saya: wajah China, tapi kewarganegaraan Indonesia.
Di Australia, saya sering didatangi Opa atau Oma yang berbahasa Mandarin, yang menyapa saya dengan "ni hao?"
Belum sempat membalas, mereka langsung berkicau dalam bahasa Mandarin sampai saya berkata: "Sorry, I don't speak Chinese", atau "Maaf, saya tidak bisa berbicara bahasa Mandarin."
Beberapa bulan yang lalu, seorang pria yang baru pertama kali bertemu dengan saya menanyakan saya bekerja di restoran China yang mana.
Saya menjawab dalam bahasa Inggris: "Oh, saya bekerja di media dan saya orang Indonesia."
Ia agak terkejut dengan jawaban saya, tapi bersikap biasa saja dan mulai membahas pekerjaan saya.
Ada juga pertanyaan klasik, ketika saya ditanya saya asalnya dari mana.
Ketika saya bilang "Indonesia", mereka diam, terlihat bingung, dan seolah menunggu sampai saya berkata: "Ya, saya keturunan China."
Lalu mereka terlihat lega.
Jujur, saya sempat merasa tidak nyaman dengan identitas Tionghoa saya.
Tapi Pak Udaya bilang saya tidak boleh menyangkalnya.
Ia mengatakan saya bukanlah satu-satunya orang Tionghoa yang merasa hilang karena tidak bisa berbahasa nenek moyang.
Saya diingatkan bahwa masa lalu dan lingkungan adalah dua hal yang membawa saya sampai hari ini.
"Kita harus memahami masa lalu untuk mengerti masa kini, untuk merangkai masa depan," ujar Pak Udaya.
Ini yang sedang saya lakukan sekarang.
Saat menulis artikel ini, rekan kerja saya dari ABC Chinese memberitahu arti nama Lin Fu Zhen (林福镇): "tempat yang menyenangkan."
Mungkin di situlah saya berada sekarang, setelah mempelajari identitas saya dan mengapa saya harus menerimanya. Selangkah demi selangkah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.