Waktu Kecil Saya Tidak Mau Dipanggil Dengan Nama China. Kini Saya Paham Alasannya
Lin Fu Zhen, nama pemberian kakek saya yang merantau dari China, selalu saya tolak karena terdengar berbeda dengan nama-nama Indonesia…

Sepertinya saya justru lebih sering menemukan nama John dan Mary ketimbang nama-nama seperti itu.
"Saya lebih suka nama Natasya", pikir saya.
Keputusan saya sudah bulat dan saya lumayan ngotot soal ini.
Entah bagaimana, saya merasa ini adalah bentuk penolakan terhadap identitas saya sebagai orang Tionghoa.
Memang, pengetahuan Mandarin saya sangatlah terbatas karena tidak diajarkan di rumah.
Mami berbahasa Khek, tapi ia tidak mengajarkannya kepada saya.
Setiap karaoke di rumah saudara, mereka pasti menyanyikan lagu Tian Mimi atau Yuèliang Dàibiǎo Wǒ de Xīn.
Tapi apakah saya mengerti isi lagunya? Tidak.
Orang tua saya merasa kemampuan bahasa Mandarin ini tidak terlalu bermanfaat bila dibandingkan dengan bahasa Inggris.
Perlakuan terhadap Tionghoa di masa lalu
Tapi saya paham mengapa mereka berpikir begitu.
Sejarah mencatat bahwa dulu orang Tionghoa tidak diperlakukan dengan baik oleh negara.
Pada tahun 1966, mereka diminta untuk mengubah "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" mereka, di tengah kecurigaan bahwa orang Tionghoa masih memiliki hubungan yang kuat dengan China dan komunisme.
Surat ganti nama sangatlah penting untuk bisa mendapatkan dokumen resmi, seperti KTP atau paspor.
Setahun setelahnya, bahasa Mandarin dilarang menjadi bahasa pengantar di sebagian besar surat kabar.
Bahasa Mandarin bahkan tidak dapat digunakan sebagai nama toko.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.