Minggu, 5 Oktober 2025

Hartati Korban Tumpang Tindih Peraturan

"Tinggal sebatas mana kita memberikan toleransi. Yang harus diberikansaat ini, adalah sungguh-sungguh kebijaksanaan," tegasnya.

zoom-inlihat foto Hartati Korban Tumpang Tindih Peraturan
Warta Kota/Henry Lopulalan
Terdakwa perkara dugaan suap pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Siti Hartati Murdaya mendengarkan keterangan saksi, pengusaha Anton J Supit sebagai saksi yang meringankannya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/1/2013). Warta Kota/Henry Lopulalan

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berharap majelis hakim melihat kasus Buol dengan bijaksana. Karena dalam kasus ini, pengusaha Hartati Murdaya menjadi korban dari tumpang-tindih berbagai peraturan perundangan, yang menempatkan warga negara dalam posisi serba salah.

"Dalam hal incumbent (meminta sumbangan), posisi pengusaha itu susah. Dikasih salah, tidak dikasih salah. Kalau dalam konteks seperti ini, hukum harus menerapkan yang adil," kata Yusril menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum soal sumbangan Pilkada oleh calon incumbent, di pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/1/2013).

Yusril melanjutkan, tidak mungkin negara tanpa pengusaha. Namun, harus diakui bahwa melihat perilaku politik banyak pengusaha yang melakukan kecurangan. Seperti juga, banyak politikus yang tidak menipu.

"Tinggal sebatas mana kita memberikan toleransi. Yang harus diberikansaat ini, adalah sungguh-sungguh kebijaksanaan," tegasnya.

Terkait dengan niat pengusaha memberikan sumbangan kepada incumbent, Yusril menjawab bahwa Undang-Undang Pilkada menyatakan bahwa seseorang atau badan usaha itu sah memberikan sumbangan sampai batas tertentu. Besaran sumbangan itu harus dilaporkan.

Namun, jika kemudian ditemukan adanya sumbangan yang melampaui batas maksimum maka harus disesuaikan dengan batasan itu.

"Batas sumbangan Pilkada badan usaha itu diatur Undang-Undang Rp 350 juta. Jika ada sumbangan misalnya Rp 400 juta, yah harus disesuaikan dikurangi besarannya menjadi Rp 350 juta. Jangan lantas karena memberikan sumbangan melebihi batas maksimum di pidanakan. Bisa penuh penjara kalau semuanya harus dipidanakan," jelasnya.

Saat dikejar JPU soal, apakah ada niat lain dibalik pemberian sumbangan itu dibenarkan? Yusril menjawab norma itu sifatnya zahir (yang terlihat), sedangkan yang batin itu tidak bisa diatur dalam Undang-Undang.

"Norma Undang-Undang itu dalam penyelenggaraan pilkada itu, tiap calon berhak menerima sumbangan. Pertanyaannya itu ikhlas atau tidak? Orang memberi sumbangan itu boleh ada apa-apanya, tapi itu wajar saja. Kata tolong dibantu itu tidak melanggar Undang-Undang karena itu urusan batin," tukasnya.

Utamakan Pencegahan

Di depan majelis hakim Yusril Ihza Mahendra juga menyatakan mestinya penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan jika melihat suatu perbuatan yang berpotensi terjadinya korupsi, bukan melakukan pembiaran sehingga tindak pidana korupsi terjadi.

Menurut Yusril, penegak hukum dibekali kewenangan menyadap, sehingga dengan kewenangannya itu mestinya ia bisa mencegah tindak pidana korupsi, seperti prinsip intersepsi.

“Masa kalau tahu teroris akan membom menunggu bom itu meledak dulu, harus dicegah," katanya.

Yusril menegaskan, bahwa dalam filsafat hukum mencegah itu lebih baik dibanding menindak. Apalagi, jika ada warga negara yang memang ketahuan berpotensi melakukan pelanggaran hukum, itu sudah jadi kewajiban penegak hukum untuk mencegahnya. Sebab, penegak hukum wajib melindungi warganya, termasuk dari tindakan-tindakan pidana.

Selain itu, Guru Besar Hukum UI ini menyatakan bahwa hukum pidana itu harus jadi alternatif akhir dalam menindak warga negara.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved