Aliansi Civil Society Desak Nasionalisasi PT Freeport
Aliansi ormas civil society yang terdiri dari Repdem (Relawan Perjuangan Demokrasi), Napas (National Papua Solidarity), PMII

Laporan Wartawan Tribun Jakarta Mochamad Faizal Rizki
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi ormas civil society yang terdiri dari Repdem (Relawan Perjuangan Demokrasi), Napas (National Papua Solidarity), PMII (Pergerakan Mahasiswa Indonesia), menolak renegosiasi kontrak PT Freeport dalam rangka mempertahankan dominasinya menguasai kekayaan alam Indonesia.
Aliansi ormas juga menuntut pemerintah Indonesia untuk segera melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan tambang asing tersebut.
Menurut Ketua Umum Repdem, Masinton Pasaribu, kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton pada 4 September 2012 mendatang mutlak harus diwaspadai oleh segenap elemen bangsa Indonesia.
"Kedatangan Hillary jelas membawa agenda AS dalam rangka mempertahankan dominasinya menguasai kekayaan alam Indonesia, khususnya kekayaan tambang," kata Masiston dalam konferensi persnya di kantor Dewan Pimpinan Nasional Repdem, di Cikini, Jakarta, (2/09/2012).
Ikut bergabung dalam aliansi ormas ini, PRD (Partai Rakyat Demokratik), LSM Perempuan, Indies, LMND, Petisi 28, Liga Mahasiswa Demokrasi, IGJ (Institute Global Justice) dan lain-lain.
Lebih lanjut, Masiston mengatakan, perusahaan tambang emas AS yakni Newmont dan Freeport menguasai 90 persen produksi emas nasional.
"Kedatangan Hillary jelas ditujukan dalam rangka mengintervensi proses renegosiasi kontrak yang sedang dilakukan pemerintah Indonesia dan memanasnya pergolakan dan perlawanan rakyat terhadap Freeport,"tuturnya.
Dikatakan Masinton, kehadiran tambang Freeport di Bumi Papua merupakan skandal nasional terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.
"Kegiatan pertambangan PT Freeport telah menjadi isu internasional dikarenakan maraknya pelanggaran HAM, diskriminasi kemanusiaan, pemiskinan masyarakat lokal, pengerusakan lingkungan secara masiv," lanjut dia.
Masinton mengatakan, agenda besar renegosiasi dengan PT Freeport ini nyaris terlewat dari pengamatan kita semua, padahal masalah ini merupakan hal yang sangat vital bagi kelangsungan negara Indonesia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, cara negosiasi pemerintah sekarang hanya mengulangi cara negosiasi pada awal kontrak karya tahun 1967 dan 1991, masyarakat tidak dilibatkan dan diikut sertakan dalam renegosiasi.
"Penghinaan elite ini mutlak harus diakhiri, pemuda Indonesia, buruh, petani, rakyat harus bersatu padu untuk menasionalisasi Freeport tanpa syarat," ujarnya.