Tribunners / Citizen Journalism
Kesaktian Pancasila dan Asta Cita: Saatnya Menjadi Ruh Kebijakan Negara
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2025 hendaknya bukan sekadar ritual kenangan atas peristiwa 1 Oktober 1965.
Oleh: Ganjar Razuni
- Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional
- Wakabalitbang DPP Partai Golkar
- Ketua Wanbin Yayasan Trisakti Pamungkas Nusantara (YTPN).
TRIBUNNERS - Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2025 yang baru kita lalui, hendaknya bukan sekadar ritual kenangan atas peristiwa 1 Oktober 1965.
Ia harus menjadi momen pengukuhan bahwa Pancasila tetap relevan sebagai landasan politik dan moral yang menuntun praktik demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Namun kenyataannya, sejumlah survei menunjukkan adanya masalah serius: pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda dan elemen masyarakat makin rentan tergerus — sebuah kondisi yang mestinya menjadi alarm bagi setiap pembuat kebijakan.
Data empiris yang tersedia memperlihatkan gambaran yang mengkhawatirkan. Survei Litbang Kompas bekerja sama dengan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) pada 2022 menunjukkan hanya sekitar 28,6 persen siswa yang memahami Pancasila melalui pembelajaran di ruang kelas; sisanya banyak memperoleh pengertian dari sumber lain, termasuk media sosial. Ini berpotensi menggerus pendidikan Pancasila yang sejati.
Laporan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memuat temuan serupa yang mengingatkan rendahnya pemahaman wawasan kebangsaan di kalangan pelajar. Lebih jauh lagi, penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2018 menyimpulkan bahwa pemahaman materi wawasan kebangsaan pada siswa berada pada level sangat rendah dalam indikator tertentu.
Di tingkat pengukuran nasional, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Badan Pusat Statistik mengembangkan Indeks Aktualisasi Pancasila.
Hasil pengukuran yang diintegrasikan dalam modul Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang secara sistematis merekam tantangan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila pada beberapa dimensi penting sejak 2021.
Pada Mei 2023, Setara Institute merilis survei tentang pandangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengenai Pancasila.
Hasilnya mengejutkan: sebanyak 83,3 persen siswa SMA berpandangan bahwa Pancasila bisa diganti. Hal ini bermasalah sebab sebagai dasar negara, Pancasila tidak bisa diganti melalui mekanisme hukum apapun.
Semua temuan ini bukan sekadar statistik; mereka menandakan kelemahan kapasitas kolektif bangsa untuk memahami dan menerjemahkan nilai dasar negara ke dalam kehidupan nyata.
Kesaktian Pancasila
Sejarah mengajarkan bahwa Pancasila lahir bukan sebagai dogma kering, melainkan hasil penjajakan gagasan politik yang mendalam.
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 merupakan salah satu momen penting yang merumuskan gagasan dasar yang kemudian diperkaya menjadi Pancasila Dasar Negara.
Kelahiran itu mengakar pada tradisi politik Indonesia yang ingin menyatukan pluralitas melalui nilai-nilai bersama. Dokumen Piagam Jakarta dan perdebatan di BPUPKI memperlihatkan bahwa kelima sila bukanlah wahyu tunggal melainkan kompromi historis antara berbagai aspirasi politik pada saat itu.
Pembukaan UUD 1945 lalu menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai pokok-pikiran dasar konstitusional yang mesti diwujudkan dalam penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu, ketika Pancasila dianggap “sakral” pada setiap peringatan 1 Oktober, yang disakralkan seharusnya bukan ritual formal semata, melainkan kemampuan institusi dan masyarakat untuk mengaktualisasikannya.
Pemikiran para pendiri negara memberi petunjuk penting mengenai hubungan antara Pancasila, demokrasi, dan HAM. Kesatuan Pancasila, demokrasi dan HAM ini kini dijadikan sebagai Asta Cita, yakni Delapan Misi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bahkan merupakan Asta Cita yang pertama.
Dalam kaitan ini, Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai sintesis nilai-nilai nasional yang meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan keadilan sosial.
Sebuah visi yang menuntut demokrasi berkarakter kebangsaan dan humanisme. Di lain pihak, Mohammad Hatta menekankan kedaulatan rakyat dan konsep demokrasi kerakyatan yang tidak hanya politis tetapi juga ekonomi; bagi Hatta, demokrasi tanpa keadilan sosial dan kebebasan dasar warga (yang hari ini kita sebut HAM) adalah incomplete (tidak sempurna).
Dari kedua pemikiran ini tersingkap satu garis besar: Pancasila menjadi kerangka etis — demokrasi adalah mekanisme politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat — dan HAM adalah tata nilai yang melindungi martabat individu dalam praktik demokrasi tersebut. Maka Pancasila, demokrasi, dan HAM bukan tiga domain terpisah, tetapi satu kesatuan normatif yang saling menguatkan.
Pemerintahan baru yang merumuskan Asta Cita, menempatkan “Penguatan Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia” sebagai misi pembuka.
Ini adalah peluang politik yang jelas: bila konsisten diwujudkan, Asta Cita bukan hanya slogan politis melainkan kerangka kerja untuk memperbaiki gap pemahaman dan institusionalisasi Pancasila yang selama ini tumpul.
Tetapi kata-kata tanpa kebijakan konkret akan kembali menghasilkan sertifikat simbolik semata. Untuk menjadikan misi pertama itu efektif, perlu transformasi kebijakan di beberapa bidang inti: kurikulum kebangsaan yang komprehensif dan terstandarisasi, penguatan indeks aktualisasi yang berbasis data, serta langkah-langkah penegakan HAM yang nyata dan melembaga agar hak warga negara tidak menjadi korban instrumentalitas politik.
Secara hukum dan kelembagaan, landasan untuk tindakan itu tersedia. Pembukaan UUD 1945 memberi arah normatif; Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 resmi menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila — yang sejatinya bermaksud mempertebal kesadaran bahwa Pancasila adalah perekat bangsa setelah ujian politik besar di tahun 1965.
Namun legitimasi formal ini harus diikuti oleh legitimasi substantif: penghormatan terhadap HAM yang konsisten dengan nilai kemanusiaan Pancasila, dan demokrasi yang memungkinkan partisipasi rakyat yang bermakna, bukan hanya seremonial. Tanpa legitimasi substantif, setiap peringatan 1 Oktober akan tetap berada pada ranah retorika.
Rekomendasi kepada Presiden
Kondisi saat ini menuntut rekomendasi kebijakan yang tegas, juga realistis.
Pertama, Presiden Prabowo Subianto perlu memerintahkan percepatan integrasi Indeks Aktualisasi Pancasila ke dalam perencanaan pembangunan nasional sehingga capaian Pancasila diukur dengan indikator yang jelas dan dipublikasikan secara berkala.
Kedua, prioritaskan reformulasi kurikulum kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan—dengan metode yang tidak hanya menghafal sila tetapi menginternalisasikan praktek demokrasi deliberatif dan pemahaman HAM.
Ketiga, reformasi kelembagaan penegakan HAM dan mekanisme akuntabilitas negara harus diperlakukan sebagai bagian integral dari misi Pancasila, bukan muatan terpisah; penguatan Komnas HAM, akses hukum, dan pendidikan hak asasi harus diberi insentif anggaran yang jelas.
Keempat, gunakan platform Asta Cita untuk membangun dialog nasional yang melibatkan akademisi, aktivis HAM, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan generasi muda—agar Pancasila dipahami sebagai instrumen hidup kolektif, bukan artefak politik masa lalu.
Kelima, perlu restrukturisasi dan reformasi kelembagaan BPIP, kewenangan, organisasi, struktur dan pengorganisasian, kelembagan hingga ke Kabupaten/Kota, anggaran dan lain lain, agar BPIP dapat meleksanakan fungsi negara dalam penyemaian dan penguatan ideologi Pancasila sesuai Asta Cita pertama Presiden Prabowo Subianto yaitu Pengokohan Ideologi Pancasila, Demokrasi dan HAM.
Negara harus melakukan "intervensi" dalam pengutan pembinnaan ideologi Pancasila, bukan sekedar menjadi pedoman perilaku pribadi seperti di masa Orde Baru (P4 Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang diturunkan dalam 36 butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Walaupun itu baik sekali, tetapi selain itu seharusnya yang lebih penting lagi adalah agar substansi zat-zat ideologis yang terkandung dalam konstruksi Pancasila, benar-benar menjadi Jiwa dan "Ruh" dari tiap-tiap peraturan perundag-undangan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara kesatuan RI dan ditaati dengan suatu penegakkan hukum yang konsisten.
Penulis sebagai Anggota DPR/ MPR RI Periode 1997-2002 (pemilu dipercepat menjadi 1999), menolak pencabutan P4 dan Pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/ 1983 tentang Referendum dicabut dengan Tap MPR No. VIII/MPR/1998, sesungguhnya masih ada pilihan lain, tidak mencabut, tetapi amandemen saja pada penyelenggara Referendum tentang amandemen UUD 1945, misalnya.
Inilah kemudian yg memudahkan perubahan besar- besaran UUD 1945 di tahun 1999-2002, bukan lagi amandemen, tetapi lahir UUD baru, karena perubahannya jauh lebih besar dari aslinya melampau tuntutan Reformasi 1998 bahksn terhadap hal hal prinsip dari sistem Demokrasi Pancasila, yang amandemen itu kalau dalam perumpamaan terminologi peradilan, dapat disebut sebagai "Ultra Petita".
Tuntutan Reformasi 1998 hanya Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wapres maksimal 2 periode berturut dalam jabatan yang sama; Kedua, ABRI back to basic dan; Ketiga, Pemberantasan KKN.
Akhirnya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2025 harus menjadi titik tolak perubahan yang konkret: dari perayaan seremonial menuju kerja kebijakan yang mengembalikan Pancasila ke posisi sebagai panduan praktis—mengokohkan demokrasi yang partisipatif dan menjamin hak asasi manusia yang tak dapat diganggu.
Jika tidak, kata-kata tentang “kesaktian” akan kehilangan substansi.
Negara membutuhkan lebih dari simbol; negara membutuhkan institusi dan kebijakan yang mampu menerjemahkan nilai-nilai pendiri bangsa ke dalam kehidupan warga sehari-hari.
Presiden dan kabinetnya memiliki kesempatan untuk mewujudkan itu melalui Asta Cita—pilihan yang akan menentukan apakah peringatan hari ini hanya pengingat masa lalu atau awal dari konsolidasi demokrasi, HAM, dan Pancasila yang sungguh-sungguh.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Peringati Hari Kesaktian Pancasila 2025, Bupati Bogor Ajak Masyarakat Terapkan Nilai-nilai Pancasila |
![]() |
---|
Saat Prabowo Panjatkan Doa di Depan Sumur Maut Lubang Buaya |
![]() |
---|
Prabowo Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Berikut Daftar Pejabat Hadir |
![]() |
---|
Mengenal Lubang Buaya Jaktim Tempat Pembuangan Korban G30S, Jejak Sejarah Hari Kesaktian Pancasila |
![]() |
---|
Catat, Ini Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Bulan Oktober 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.