Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

8 Dekade: QUO VADIS RRI

RRI genap 80 tahun. Di tengah gempuran digital, publik bertanya: masih relevan atau hanya gema masa lalu yang makin pelan?

|
Editor: Glery Lazuardi
Hand-over
EKO WAHYUANTO - Dosen Sekolah tinggi ST-MMTC Kondigi Yogyakarta (Hand-over). Genap 80 tahun, RRI menghadapi tantangan eksistensial di era digital. Dari saksi sejarah kemerdekaan, kini diuji relevansinya sebagai media publik. 

Eko Wahyuanto,

Dosen Sekolah Tinggi Mulgtimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta

 

TRIBUNNEWS.COM - Tanggal 11 September 2025, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) genap 80 tahun. Rentang perjalanan panjang melintasi  zaman, sejak zaman perjuangan hingga era milenial.

Delapan dekade, menunjukkan kematangan lembaga penyiaran, namun sebaliknya dapat pula dianalogikan sebagai kerentanan menghadapi tantangan industri media yang sedang melaju kencang. 

Dentuman transformasi digital, ditandai platform daring yang ekspansif, RRI bak sedang berlayar menerobos gelombang algoritma ganas, tak ramah persaingan.

Kebesaran RRI sudah teruji. Bukan hanya menjadi media penyiaran, melainkan saksi hidup perjuangan melawan kolonialisme.

Hingga mendengungkan pekik proklamasi menggema ke pelosok negeri.

Pertanyaannya, apakah di usia 80 tahun, RRI masih relevan, atau akan menjadi artefak sejarah, tersimpan dalam memori kolektif bangsa? 

Di tengah tren menurunnya minat pendengar radio, RRI menghadapi problem memenangkan rating.

Sementara data Ac Nielsen, dari tahun 2024 jumlah pendengar radio di Indonesia (berusia 16-64) 51,1 persen turun drastis, jauh di bawah media sosial (97,8 persen) dan televisi (84,6 persen). Pergeseran audiens ke digital, berakibat penetrasi iklan radio juga rendah.

Pada semester I 2022 hingga 2025, pangsa pasar iklan radio nasional stagnan di kisaran 0,3 persen - 0,4 persen, turun sekitar 13?ri periode tahun sebelumnya.

 Data lain menyebut, iklan industri penyiaran berangsur turun karena inflasi dan event global, serta pangsa pasar yang semakin terbatas.

EKO WAHYUANTO - Dosen Sekolah tinggi ST-MMTC Kondigi Yogyakarta
EKO WAHYUANTO - Dosen Sekolah tinggi ST-MMTC Kondigi Yogyakarta (Hand-over)

Ketertinggalan di Tengah Kecepatan

Transformasi digital memaksa semua media beradaptasi. Pakar media publik James Curran, dari Goldsmiths University berpandangan, media publik seharus menjadi "ruang publik modern", mampu mewakili keberagaman, bukan sekadar mengulang format lama dalam kemasan baru.

Artinya transformasi ke arah media modern berbasis digital mutlak, tak bisa ditawar lagi.

Bagaimana dengan RRI?

Berbagai kalangan menilai RRI masih terjebak dalam lanskap siaran konvensional, dengan proses bisnis lama kental birokrasi, sehingga lambat.

Akibatnya, disaat podcast independen muncul, kanal berita digital menjamur menangkap atensi publik, RRI justru terkesan terseok, minim inovasi, miskin strategi digital, dan kerap tertinggal narasi. Tak hanya soal format, tetapi juga keberanian memainkan peran sebagai media penyeimbang di tengah riuhnya polarisasi informasi.

Posisi sebagai media publik harusnya  menjadi transfer dan rujukan. Ingat, anggaran disiapkan APBN, diperuntukan membangun narasi-narasi yang bukan hanya mencerdaskan tetapi juga mengedukasi publik, tanpa kehilangan integritas.

Natalie Fenton, profesor komunikasi dari University of London, menegaskan bahwa “media publik masa kini harus mampu “menguasai ruang digital tanpa kehilangan integritas jurnalistiknya.”

 Inilah tantangan lain yang harus dibaca RRI sebagai maklumat perubahan. Sebab hadir di ruang digital lebih bermakna, bukan formalitas, apalagi sekedar menggugurkan tugas, yang diamanatkan undang-undang.

Redundansi Program dan Struktural

Masalah RRI bukan hanya kultural, tetapi juga struktural. Ketergantungan pada APBN membuat rentan secara politik, sementara struktur birokrasi kaku menahan laju inovasi. Semua SDM RRI adalah ASN.

Sebagai Aparatur Sipil  Negara, mereka tunduk regulasi ASN. Sebagai awak media, mereka dituntut profesional, independen, dan berani menyuarakan kepentingan publik, tanpa dibayangi sanksi sebagai ASN.

Paradoks lain soal redundansi program. Apa yang dilakukan RRI juga dilakukan LKBN Antara dan TVRI, dua lembaga milik negara yang sama-sama dibiayai APBN. Meski untuk Antara melalui skema Public Service Obligation - PSO.

Dituding sebagai sumber pemborosan uang negara  memperparah efisiensi. Ketiga media itu menggarap target segmen sama, tanpa kolaborasi dan arah strategis bersama.

Selain BBC, model seperti NHK Jepang dan CBC Kanada bisa jadi “benchmarking.” Bahwa integrasi platform media publik bisa efektif bila dikelola dengan visi misi yang jelas dan tata kelola profesional.

Bertolak alasan itu, wacana penggabungan ketiga media dalam “Indonesia Media Group” bisa jadi solusi. Memang tidak mudah, tetap menyimpan risiko.

Belajar dari India, penggabungan radio dan televisi milik pemerintah menjadi media baru bernama Prasar Bharati justru menimbulkan konflik baru. 

Jadi jangan sampai upaya menghindari "redundant" dan inefisiensi, harus dibayar mahal, seperti kekacauan organisasi baru dan lunturnya independensi editorial. Monika Djerf-Pierre, pakar media dari University of Gothenburg: “media publik yang sehat memerlukan model bisnis yang berkelanjutan dan kebal dari intervensi pemerintah.

Regulasi Bukan Administratif 

Momentum revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sesungguhnya menjadi ruang strategis untuk mendefinisikan ulang peran media publik.

Bukan sekadar menata ulang struktur, melainkan memastikan adanya aturan yang berpihak pada independensi dan inovasi.

Georgina Born dari UCL menyebut, “regulasi yang progresif menjadi kunci utama untuk memastikan media publik tetap hidup dan relevan.

RRI tidak bisa sekedar hidup dari romantisme perjuangan kemerdekaan. Ia harus mampu menjadi institusi yang mencerdaskan publik, di tengah ancaman badai disinformasi global.

Konten RRI harus mampu menggaet generasi digital tanpa mengkhianati semangat kebangsaan. Berbasis data dan riset atau investigasi, berwawasan lokal, dan bernilai membangun peradaban berbudaya.

Usia Renta atau Tetap Relevan

Menjadi tua adalah keniscayaan, tetapi menjadi usang adalah pilihan. RRI bisa memilih menjadi institusi yang bertahan sekadar karena sejarah, atau bertransformasi menjadi media publik yang menjadi jangkar nalar di tengah gempuran disinformasi dan hoaks.

Sebagaimana dikemukakan David Hendy, seorang penulis sejarah BBC, “Media publik yang berhasil adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan zaman, tanpa kehilangan jiwa publiknya.” 

Maka, usia 80 bukan penutup, tapi kesempatan untuk merumuskan ulang arah kompas perjuangan, memperbarui metode, dan mempertegas misi kebangsaan dalam lanskap digital.

Jika tidak, RRI hanya menjadi gema masa lalu, perlahan-lahan semakin pelan, "noise" bahkan tak terdengar.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan