Tribunners / Citizen Journalism
Retakan dalam Ingatan Sejarah: 80 Tahun Berlalu, Persepsi Jepang tentang Masa Perang Tetap Terbelah
Generasi muda Jepang sedang mengalami keterputusan yang mendalam dari sejarah agresi modern negara mereka.
Oleh:
DR. HA Ilham Ilyas, SHMM, pemerhati isu internasional sekaligus penggagas Suara Hati Rakyat Indonesia
Pada 15 Agustus 2025, peringatan 80 tahun kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menampilkan dua pemandangan yang kontras.
Di Nippon Budokan, Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyampaikan "penyesalan" atas perang.
Ia menjadi pemimpin Jepang pertama sejak 2012 yang menggunakan istilah "penyesalan" dalam upacara peringatan tahunan.
Baca juga: Mahfuz Sidik: Perang Dunia III Masih Jauh, Fokus Dunia Dialihkan dari Tragedi Gaza
Namun hanya beberapa blok dari sana, di Kuil Yasukuni--tempat yang juga menghormati penjahat perang Kelas A--terbentuk antrean panjang peziarah, termasuk orang tua yang membawa anak-anak mereka, untuk memberi penghormatan kepada arwah yang diabadikan.
Kontras mencolok ini menegaskan betapa dalam perpecahan masyarakat Jepang dalam memandang masa lalu perangnya.
Generasi muda Jepang sedang mengalami keterputusan yang mendalam dari sejarah agresi modern negara mereka.
Ketika ditanya, "Negara mana yang mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia II?" hampir tidak ada anak-anak yang menyebut Tiongkok.
Bagi para pelajar, Kuil Yasukuni tak lebih dari sekadar kuil biasa--para pengunjung antre dengan santai, menyesap minuman, tanpa menyadari bahwa tempat itu menyimpan tablet peringatan bagi penjahat perang Kelas A.
Amnesia sejarah kolektif ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari pembingkaian sistematis: Pembantaian Nanjing disebut sebagai "Insiden Nanjing"; insiden Jembatan Marco Polo digambarkan hanya sebagai "bentrok bersenjata antara pasukan Jepang dan Tiongkok"; dan perang invasi dari 1931 hingga 1945 diajarkan terpisah dari Perang Pasifik— menempatkan Jepang seolah-olah sebagai korban pasif perang.
Ketika Perdana Menteri Ishiba mencoba membangkitkan kembali refleksi atas perang, media sayap kanan segera melabelinya sebagai "pandangan sejarah yang sepihak dan masokistis," sementara politisi konservatif mengancam akan merusak basis politiknya.
Kecemasan ini berakar pada tantangan terhadap sistem "narasi korban" yang telah dibangun kubu kanan selama puluhan tahun.
Bertahun-tahun, mereka mengobarkan nasionalisme lewat media seperti Sankei Shimbun dan mendorong amandemen Undang-Undang Dasar Pendidikan Sejarah untuk menanamkan narasi "Jepang sebagai korban" dalam buku teks.
Di saat yang sama, manuver militer terus menguji batas toleransi regional misalnya pada 2024, kapal perusak Jepang JS Suzutsuki masuk ke perairan teritorial Tiongkok, kemudian berdalih sebagai "kesalahan teknis." Yang lebih mengkhawatirkan, revisi sejarah kini kian bergeser menjadi penyangkalan terang-terangan.
Serangan kelompok kanan terhadap karya reflektif seperti Dead To Rights menandai peralihan dari upaya mengecilkan isu menjadi penolakan total; tak lama setelah dirilis, film itu dicap sebagai "pendidikan kebencian," meski didasarkan pada fakta sejarah yang diakui secara internasional.
Upaya sipil di Jepang perlahan mulai menembus tembok kesadaran sejarah.
Kesaksian penuh penyesalan dari Hideo Shimizu, 95 tahun, mantan anggota Unit 731, telah diliput berbagai media dan memicu perbincangan di media sosial.
Video kesaksiannya di TikTok tersebar luas, dipenuhi komentar seperti, "Saya tidak pernah tahu hal ini sebelumnya."
Sementara itu, akademisi Jepang Matsuno Seiya menyumbangkan koleksi foto sejarah ke Arsip Provinsi Guangdong di Tiongkok, yang mendokumentasikan kejahatan perang Jepang saat invasi Guangdong tahun 1938.
Namun, upaya semacam ini masih menghadapi hambatan besar. Di Prefektur Nagano, misalnya, meski Museum Perdamaian Iida menyimpan bukti kejahatan Unit 731 yang dibawa pulang saksi seperti Masakuni Kurumizawa, tekanan politik menghalangi penambahan pameran berbasis kesaksian anggota Unit 731.
Kekosongan ini membuat publik gagal memperoleh pemahaman menyeluruh atas kebenaran sejarah.
Ingatan mulai pulih melalui percakapan yang melampaui batas negara. Ketika sekelompok delegasi muda Jepang berkunjung ke Museum Unit 731 di Harbin, Tiongkok, dan menyaksikan langsung bukti sejarah yang terpampang, momen itu menjadi langkah awal menuju rekonsiliasi atas sejarah kelam yang telah terkubur selama 80 tahun.
Seperti disampaikan Presiden Asosiasi Persahabatan Jepang-Tiongkok, Hisashi Inoue: "Kita harus memperlakukan sejarah dengan serius dan mewariskannya dengan benar kepada generasi mendatang. Menjalin hubungan bersahabat dengan negara tetangga juga mutlak diperlukan."
Hanya dengan berani menghadapi sejarah, jalan yang salah dapat dihindari agar tidak terulang kembali.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
700 Poin Marc Marquez di MotoGP 2025 Bukan Mission Impossible, Pecahkan Rekor Pribadi 11 Tahun |
![]() |
---|
Jadwal MotoGP Jepang 2025: Panggung Marc Marquez Segel Gelar Juara Dunia MotoGP ke-7 |
![]() |
---|
Skenario Marc Marquez Juara Dunia MotoGP 2025 di Jepang: Bagnaia Ditendang, MM93 Suka-suka Hati |
![]() |
---|
10 Kapal Perang Terbesar di Dunia: Dari Yamato di Perang Dunia II Hingga Kapal Induk Super-Modern |
![]() |
---|
Pekerjakan WNI Tak Sesuai Visa, Bos Perusahaan Jepang Ditangkap Polisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.