Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Objektivitas Hukum di Antara Pusaran Media, Netizen, dan Kuasa

Beberapa tahun terakhir ini, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan.

Editor: Sri Juliati
freepik.com
ILUSTRASI HUKUM - Foto ilustrasi tentang hukum yang diambil dari freepik, Rabu (6/8/2025). Beberapa tahun terakhir ini, disadari maupun tidak, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan. 

Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn 
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

TRIBUNNEWS.COM - Objektivitas adalah ruh dari hukum. Tanpa objektivitas, maka hukum dapat berubah menjadi alat kekuasaan, panggung opini, atau sekadar pelengkap tontonan publik. 

Beberapa tahun terakhir ini, disadari maupun tidak, kita menghadapi kerusakan serius atas objektivitas itu. Kerusakan itu datang bukan semata-mata dari pelaku kejahatan. Kerusakan itu datang juga dari tiga kekuatan besar di luar pengadilan yakni media, netizen, dan penguasa.

Ketiganya mewujud dalam bentuk yang tampaknya berbeda tetapi bersatu dalam akibat. Ketiganya membajak proses hukum yang sah dan menggantikannya dengan penghakiman di luar sistem.

Trial by Press

Pertama adalah trial by press. Trial by press terjadi ketika media massa—baik cetak, TV, atau daring— bertindak seolah-olah mengambil alih peran hakim. 

Mereka menyusun narasi yang dengan tanpa sadar menempatkan siapa yang jahat dan siapa yang benar. Penempatan itu terjadi bahkan sebelum polisi merilis, jaksa bicara atau hakim menggelar persidangan.

Trial by press sering memakai teknik framing. Teknik untuk memilih angle tertentu, mengulang narasi tertentu, dan mengekspos permasalahan dari satu sisi saja.

Teknik itu dapat menciptakan persepsi bukan fakta. Dan dalam sistem hukum, persepsi yang salah bisa menggiring pada putusan yang salah.

Media tidak dapat dipungkiri punya kekuatan besar untuk menggiring opini publik. Tapi ketika kekuatan itu tidak disertai tanggung jawab etik, media dapat berubah jadi alat penghakiman. Sebab yang dicari bukan kebenaran melainkan sensasi.

Di Italia, seorang wanita bernama Amanda Knox pernah mengalami hal ini. Dia dituduh membunuh teman sekamarnya, Meredith Kercher. 

Media Eropa, terutama Inggris dan Italia, menyajikan narasi bahwa Knox itu hiper-seksual dan membentuk kesan moral bahwa Knox adalah orang yang jahat. Dampak yang terjadi kemudian adalah publik membenci Knox. 

Belakangan ternyata Knox tak terbukti bersalah dan dibebaskan. Semua tuduhan yang dialamatkan padanya tidaklah benar. Namun, stigma pada Knox sudah terlanjur melekat dan reputasinya bisa dikatakan telah hancur di mata masyarakat.

Baca juga: Pakar Hukum Nilai Pemberian Amnesti ke Hasto Bagian dari Politik Prabowo

Trial by Netizen

Trial by netizen adalah wajah lain dari penghakiman sosial. Ia lebih liar, lebih cepat, dan lebih membabi buta. 

Di ruang maya semua orang bebas berlaku laiknya hakim. Bukti seolah tak penting. Yang penting adalah viral. Konteks juga tak terlalu diperhatikan, asal ramai.

Kekuatan media sosial seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram telah mengubah siapa yang bisa mempengaruhi narasi. Satu video berdurasi 10 detik bisa memusnahkan reputasi seseorang. Satu utas tanpa konfirmasi bisa menggerakkan ribuan orang untuk "menghakimi".

Dalam kasus salah tangkap atau pencemaran nama baik, netizen sering menanggalkan mekanisme koreksi. Mereka cenderung sekedar memuaskan hasrat untuk menghakimi lalu pergi. Tidak ada pertanggungjawaban moral dan tidak ada permintaan maaf.

Netizen juga kerap tidak punya waktu menunggu proses hukum. Mereka ingin keadilan instan. Padahal keadilan sejati butuh kehati-hatian, pemeriksaan secara mendalam, dan logika hukum yang tepat. Di tangan netizen, keadilan adalah sekedar permainan emosi.

Salah satu kasus penghakiman netizen yang paling fenomenal adalah kasus Caroline Flack, seorang presenter terkenal dari Inggris.

Pada Desember 2019, Caroline ditangkap karena dituduh menyerang pacarnya Lewis Burton di rumahnya di London. Meski pada saat itu kasus tersebut belum masuk persidangan dan belum dibuktikan di pengadilan, media sosial telah terlanjur meledak. 

Ribuan komentar bernada kebencian membanjiri akun Caroline. Ia dicap pelaku kekerasan, digambarkan sebagai sosok berbahaya, dan diminta mundur dari dunia hiburan. 

Pada 15 Februari 2020, hanya beberapa minggu sebelum sidang pertamanya, Caroline ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya di London. Dalam catatan yang ditinggalkannya, ia menulis bahwa dirinya merasa dunia telah "membuat narasi yang jahat terhadapnya" dan ia "tak sanggup lagi menahan tekanan".

Kematian tragis Caroline mengguncang publik Inggris dan memicu diskusi nasional tentang etika media, tanggung jawab terhadap penggunaan platform digital, serta brutalitas trial by netizen. Kampanye bertagar #BeKind bermunculan di mana-mana sebagai seruan agar publik lebih manusiawi. 

Trial by Power

Yang paling sunyi, tapi tak kalah mematikan adalah trial by power. Pengadilan seolah berjalan, jaksa seolah bekerja, tapi semua adalah drama. 

Skenario setiap laku dan geraknya telah diarahkan oleh kekuasaan. Penundaan perkara, pembuatan pasal karet, hingga rekayasa bukti adalah contoh dari proses hukum yang telah dimanipulasi dari balik meja kekuasaan.

Trial by power bekerja dengan cara halus tapi sistematis. Ia menjadikan hukum sebagai senjata politik. Aparat penegak hukum bukan lagi pelayan keadilan tetapi bagian dari operator kekuasaan. Di sinilah objektivitas hukum mati pelan-pelan.

Di luar negeri, mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menjadi contoh ekstrem. Melalui program unggulannya yang diberi nama "war on drugs", konon ribuan orang tewas tanpa proses hukum

Aparat sekedar menjalankan perintah, yang mana perintah tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Pengadilan diam. Hukum diseret untuk melegitimasi kekerasan.

Selain di Filipina, di Rusia juga terdapat kisah tentang Alexei Navalny. Kisahnya bahkan dapat dikatakan lebih tragis dari sekedar penghukuman tanpa pengadilan. 

Navalny dipenjara berulang kali atas tuduhan fiktif. Tak ada satu pun proses hukum yang dilakukan secara objektif dan independen atas kasus yang dialaminya. Hakim, dapat diibaratkan, hanyalah operator Kremlin.

Di Myanmar, setelah kudeta militer 2021, para pemimpin sipil seperti Aung San Suu Kyi dijatuhi vonis dalam persidangan yang digelar tertutup.

Tidak ada pembelaan yang cukup atas apa yang dituduhkan kepada pemimpin sipil tersebut. Hukum sekedar dijadikan tameng untuk meligitimasi keinginan pihak yang sedang berkuasa.

Objektivitas Hukum dan Harga yang Harus Dibayar

Tiga bentuk pengadilan tak resmi tadi, yakni pengadilan oleh pers, netizen, dan penguasa, telah merusak fondasi hukum kita. Ketiganya menekan ruang netralitas, menggiring penegak hukum untuk patuh pada opini, dan menjauhkan hukum dari prinsip due process of law.

Agar hal ini tak terus-menerus terjadi, maka pertama, literasi hukum di tengah masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat harus paham bahwa hukum bukan soal viral atau tidak tetapi soal kecukupan alat bukti dan logika.

Kedua, media harus mengedepankan etika. Media jangan menjadi ruang sidang kedua. Biarkan proses hukum berjalan dan jangan membuat vonis bayangan dalam bentuk headline.

Ketiga, lembaga hukum harus memperkuat integritasnya. Jangan gentar oleh netizen dan jangan tunduk pada kekuasaan.

Jika hukum tunduk pada opini, maka yang kita bangun bukan negara hukum tetapi negara viral. Jika hukum dikendalikan oleh penguasa, maka keadilan hanyalah ornamen demokrasi.

Hukum harus bekerja dalam senyap namun tetap mengedepankan objektivitas dan kejujuran. Hukum harus tegak bukan karena ia takut pada kamera atau kuasa tetapi karena ia secara sadar betul tengah memegang amanat konstitusi. (*)

Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta (ISTIMEWA/TRIBUNNEWS.COM)
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved