Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Jolly Roger dan Surat Kaleng Simbolik untuk Republik

Kemunculan Jolly Roger di momen sakral kenegaraan adalah sebuah surat kaleng simbolik dari segmen masyarakat yang merasa suaranya tak terdengar

Editor: Dodi Esvandi
Kolase akun Instagram
BENDERA ONE PIECE - Viral bendera One Piece dipasang dan dikibarkan jelang peringatan kemerdekaan Indonesia atau HUT ke-80 RI, 17 Agustus 2025. 

Ketika angka pertumbuhan 5,12 persen berbenturan dengan pengalaman hidup yang berat, statistik itu menjadi abstrak—tak lagi bermakna sebagai kemakmuran bersama, melainkan milik segelintir orang.

Simbol Fiksi, Resonansi Nyata

Dalam ketimpangan realitas inilah, simbol dari dunia fiksi menemukan relevansinya.

One Piece bukan sekadar kisah petualangan bajak laut. 

Ia adalah epos modern tentang perlawanan terhadap tirani, penindasan, dan ketidakadilan sistemik. 

Monkey D. Luffy dan krunya mengibarkan bendera bukan untuk menjarah, melainkan sebagai deklarasi kebebasan mutlak dan perlindungan bagi kaum lemah.

Dunia yang mereka lawan dipimpin oleh "Pemerintah Dunia" yang korup dan elite "Naga Langit" yang hidup dalam kemewahan, terasing, dan memandang rendah rakyat jelata.

Narasi ini beresonansi kuat dengan kondisi yang dirasakan sebagian masyarakat Indonesia. 

Cerita tentang pembebasan desa dari sistem "upeti" terasa lebih nyata daripada data PDB yang tak kunjung menetes ke bawah. 

Perjuangan melawan penguasa yang menutupi kebenaran sejarah demi mempertahankan kekuasaan terasa akrab bagi mereka yang merasa suara kritisnya dibungkam.

Baca juga: Pedagang Bendera Keluhkan Sepinya Pembeli karena One Piece, Begini Respon Wamendag

Protes Terselubung dan Bahasa Baru Politik

Mengibarkan Jolly Roger menjadi bentuk perlawanan yang cerdas dan aman. 

Ia adalah apa yang disebut antropolog James C. Scott sebagai hidden transcript—naskah tersembunyi, bentuk protes di luar panggung utama, dengan makna terselubung.

Bagi yang tak paham, itu hanya bendera kartun. 

Tapi bagi sesama "kru" yang merasakan kegelisahan yang sama, pesannya jelas: "Kami menolak narasi Anda. Kami memilih simbol perjuangan kami sendiri."

Sayangnya, sebagian elite politik menanggapinya dengan menyebutnya sebagai "upaya memecah belah bangsa" atau tindakan yang tidak pantas. 

Respons semacam ini justru menjadi bumerang—secara tak sadar mereka memvalidasi bahwa surat kaleng simbolik itu telah sampai dan pesannya terasa mengganggu di pusat kekuasaan.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved