Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Inspirasi Cinta Lingkungan dari Lapangan Banteng

Meskipun digelar di pusat kota, jauh dari rimba dan laut lepas, Flona menyajikan miniatur keragaman hayati yang semakin langka di kehidupan urban

|
Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
CINTA LINGKUNGAN - Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan, Odemus Bei Witono 

Oleh:  Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan

TRIBUNNERS - Pada 4 Agustus 2025, saya berkesempatan mengunjungi Pameran Flora dan Fauna (Flona) di Taman Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Bersama lima sahabat, saya berjalan menyusuri deretan stan tanaman hias, satwa peliharaan, dan hasil kreasi dari berbagai wilayah administratif DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu. 

Di tengah rindangnya pepohonan dan riuh pengunjung, saya merasakan pengalaman yang melampaui kesenangan visual.

Flona tahun ini, bagi saya, menghadirkan ruang kontemplatif mengenai pendidikan, budaya Adiwiyata, dan tanggung jawab moral kita terhadap keutuhan ciptaan.

Meskipun digelar di pusat kota, jauh dari rimba dan laut lepas, Flona menyajikan miniatur keragaman hayati yang semakin langka di kehidupan urban.

Tanaman langka, hewan peliharaan eksotik, hingga produk-produk hortikultura warga memperlihatkan bahwa relasi manusia dengan alam belum sepenuhnya terputus. 

Akan tetapi justru karena dipertunjukkan dalam ruang yang terkurung beton dan aspal, Flona mengusik pertanyaan mendasar: apakah kita, sebagai warga kota modern, masih mampu melihat alam sebagai subjek yang patut dihormati, bukan sekadar objek konsumsi?

Baca juga: Bingung Malam Minggu Ngapain? Yuk Intip 6 Event Seru yang Bisa Kamu Kunjungi di Akhir Pekan Ini

Pendidikan kita kerap berfokus pada kemampuan kognitif, nilai ujian, dan pencapaian kurikuler. Namun, tantangan masa kini menuntut dimensi lebih dalam: pendidikan untuk hidup berkelanjutan. 

Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus menekankan pentingnya pendidikan ekologis yang membentuk gaya hidup baru, bukan sekadar penguasaan konsep ilmiah. Pendidikan lingkungan, menurutnya, sangat perlu menumbuhkan kesadaran batiniah bahwa segala sesuatu di alam ini terhubung secara mendalam.

Kunjungan ke Flona menghadirkan pembelajaran kontekstual yang jarang didapat di ruang kelas. Anak-anak yang melihat langsung berbagai jenis flora dan fauna akan lebih mudah memahami nilai kehidupan, siklus alam, dan pentingnya merawat makhluk hidup. Alih-alih hanya menonton video dokumenter atau membaca buku teks, mereka mengalami proses belajar lewat pancaindra, yang dapat memperkuat daya ingat dan empati ekologis.

Karena itu, pameran semacam Flona seharusnya dijadikan bagian dari agenda pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Jika pendidikan ingin menjawab tantangan ekologis abad ini, maka interaksi langsung dengan alam—meski melalui ruang buatan seperti pameran—perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Ia bukan sekadar kegiatan ekstra, tetapi metode pedagogis transformatif.

Program Adiwiyata yang dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya membawa semangat luhur, yakni menjadikan sekolah sebagai tempat lahirnya warga peduli dan berbudaya lingkungan. Namun, dalam implementasi sering kali terjebak dalam simbolisme. Banyak sekolah berhenti pada level formalitas administrasi demi memperoleh predikat “sekolah Adiwiyata,” tanpa benar-benar menghidupkan budaya merawat bumi dalam praktik sehari-hari.

Apa yang saya saksikan di Flona membuktikan bahwa budaya ekologis tidak bisa dibentuk dengan pendekatan formal semata. Ia lahir dari kedekatan afektif antara manusia dan alam. Para penjaga stan tanaman, pe-hobi reptil, atau perajin bonsai tidak semata menjual produk, melainkan merawat kehidupan. 

Mereka mengenal makhluk yang mereka bawa layaknya sahabat, bukan barang dagangan. Relasi semacam inilah yang mestinya menjadi ruh Adiwiyata, yaitu membentuk kepribadian yang sadar akan tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari masyarakat dan warga dunia.

Sekolah-sekolah sebaiknya mulai mengadopsi praktik konkret: taman sekolah yang benar-benar dikelola siswa, program tanam dan rawat pohon berkelanjutan, pengelolaan sampah berbasis nilai edukatif, hingga keterlibatan dalam kegiatan publik seperti Flona. Adiwiyata bukanlah sertifikat untuk dipajang, tetapi kebiasaan hidup yang diwariskan.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan