Tribunners / Citizen Journalism
Menikmati Laga Tiada Akhir IDI Versus Menkes Budi
Sudah lima tahun terakhir, dunia kesehatan Indonesia disuguhi kisah laga antara organisasi profesi vs Pemerintah, IDI vs Menkes
Oleh: Algooth Putranto
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara
“It’s A Cult, No One Gets Out…Ever!” (Ini adalah sekte. Tak seorangpun bisa kabur. Kapan pun!) begitu ucapan Daniel Pine (diperankan Norman Reedus) pada Eve Macarro (Ana de Armas).
Keduanya bertemu di sebuah pengejaran yang menegangkan. Hidup atau mati!
Ini adalah adegan film Ballerina, sebuah spin-off film aksi John Wick. Sejarah menautkan keduanya.
Daniel adalah anggota sekte pembunuh--yang dipimpin The Chancellor--yang berusaha kabur demi kehidupan anak perempuannya, sementara Eve adalah anak dari Javier, salah satu anggota sekte yang tewas di masa lampau.
Yatim piatu Eve ditemukan Winston Scott, manajer Hotel Continental yang menyerahkannya ke organisasi rahasia Ruska Roma dipimpin The Director yang juga membesarkan John Wick (Keanu Reeves).
Singkat cerita lewat adu jotos dan jual beli peluru, Eve yang dibantu John Wick berhasil menuntaskan dendam pada The Chancellor.
Daniel bahagia dengan sang anak.
Namun Eve senasib John Wick: kepalanya dihargai mahal! Hidupnya diburu tiada akhir.
Baca juga: PB IDI Prihatin Kebijakan Mutasi dan Pemberhentian Mendadak Sejumlah Dokter di Rumah Sakit Vertikal
Sudah lima tahun terakhir, dunia kesehatan Indonesia disuguhi kisah laga antara organisasi profesi vs Pemerintah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) vs Menteri Kesehatan (Menkes).
Dua kali Presiden berganti, dua kali pula publik harus menonton keributan tersebut.
Di akhir periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), kita tentu ingat pada sosok Menkes Terawan Agus Putranto.
Dokter tentara berkumis tipis berpangkat jenderal yang akhirnya dipecat secara permanen dari keanggotaan IDI.
Nah keributan ini lalu dilanjutkan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang diangkat Jokowi sejak 2020.
Mungkin karena bukan dokter, Menkes Budi yang merupakan sarjana Fisika Nuklir mampu mengambil jarak dan memilih meluluhlantakkan ganjalan di dunia kedokteran sejak 2004.
Jadi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menempatkan Kolegium atau badan yang menetapkan standar kompetensi dan pendidikan dibentuk oleh organisasi profesi yang bersifat tunggal.
Dalam kasus ini organisasi profesi dokter di Indonesia adalah IDI.
Sudah bisa ditebak ketika kolegium-kolegium berada di dalam struktur IDI maka terjadinya kondisi monopolistik yang membuat IDI mempunyai kekuatan menentukan dari hulu sektor kesehatan (pendidikan) ke hilir (praktek).
Baca juga: Soal Program Pemeriksa Kesehatan Gratis, Ini Catatan PB IDI ke Pemerintah
Jadilah sejak 2004, kondisi Praktik Kedokteran di negara ini serupa sekte yang dipimpin The Chancellor atau Ruska Roma yang dikendalikan The Director.
Seluruh dokter di Indonesia, dituntut 101 persen patuh pada IDI yang otoriter.
Bagaimana dokter tak patuh pada IDI.
Seluruh dokumen profesi dokter ‘di tangan’ IDI yang berperan dalam memberikan rekomendasi terkait Surat Izin Praktik (SIP) dan surat tanda registrasi (STR).
Tanpa dua dokumen itu, dokter akan sulit mendapatkan sertifikat kompetensi (Serkom) dari Kolegium.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah (pusat dan daerah) tidak mempunyai otoritas bermakna dalam pembentukan kolegium dan penentuan jumlah dan distribusi tenaga medik karena seluruhnya dikendalikan oleh organisasi profesi.
Kalau pun ada dokter membangkang atau malas tunduk pada IDI maka hanya dua pilihan yang bisa ditempuh: berpraktek di luar negeri atau jika nekad jadi dokter abal-abal harus siap dibui atau didenda mahal.
Disfungsi IDI
Kondisi jumud akibat terlalu kuatnya IDI lalu mendapatkan tantangan ketika dihadapkan fakta kebutuhan tenaga dokter dan dokter spesialis yang merata di seluruh Indonesia.
Dibutuhkan langkah revolusioner untuk memecahkan kondisi tersebut.
Negara yang baru terbangun dari cengkaman COVID-19, pada 2023 mengesahkan UU No 17 tentang Kesehatan yang mengatur berbagai aspek kesehatan, termasuk praktik kedokteran, dan mencakup ketentuan-ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU Praktik Kedokteran.
Jika dikatakan sebuah transformasi, maka sejak 2023 dimulai situasi yang menempatkan pemerintah sebagai regulator dalam pendidikan dan pelatihan dokter spesialis.
Kolegium menjadi lebih independen, tidak berada di bawah wewenang dan struktur organisasi profesi.
Pemerintah bersikap sebagai regulator.
Namun mirip jalan cerita film Ballerina ketika sistem yang otoriter dihancurkan maka muncul chaos.
Apalagi Menkes Budi lalu menerbitkan Surat Edaran (SE) pada 12 Januari 2024 yang memutuskan proses pengurusan SIP tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat dilakukan hanya dengan surat tanda registrasi (STR) dan keterangan tempat praktik, tanpa memerlukan rekomendasi dari organisasi profesi.
Walhasil IDI sebagai otoritas yang selama ini menuntut kepatuhan total kehilangan daya paksanya.
IDI yang dulu berisi para dokter senior yang menakutkan pun mendadak tak ubahnya sekadar kumpulan arisan bapak ibu di komplek perumahan.
Baca juga: Kemenkes Buka Peluang Dokter Asing Layani Pasien dicIndonesia, Ketua PB IDI Angkat Bicara
Repotnya, IDI yang cenderung menjadi safe haven bagi dokter-dokter tua pun merengek, nah ini yang kebetulan berkelindan dengan pola komunikasi Menkes Budi selaku pejabat publik kurang elok meski menghibur.
Penulis mencatat lontaran Menkes Budi tersebut a.l terkait pernyataan bahwa laki-laki yang memakai celana jeans ukuran 33 berpotensi lebih cepat meninggal dunia karena sudah mengalami obesitas yang dikaitkan dengan risiko kematian lebih tinggi.
Selanjutnya lagi adalah pernyataan yang menyebut orang dengan gaji Rp 15 juta memiliki kepintaran dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan bergaji Rp 5 juta.
Pernyataan nakal nan menggelitik namun menyakitkan bagi publik yang, maaf saja, mayoritas kini puyeng dengan pendapatannya.
Hingga tulisan ini disusun keriuhan IDI vs Menkes Budi belumlah reda bahkan cenderung menambah bising Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah memasuki hitungan delapan bulan.
Wajar jika kemudian Menkes Budi dirumorkan masuk radar reshuffle.
Sayangnya, jika mau di-reshuffle pun dasar dicopotnya Menkes Budi dengan latar belakang bukan dokter akan sulit dipertanggungjawabkan.
Secara obyektif, kinerja Menkes Budi tak ada masalah. Jika alasannya keributan, wah ini subyektif!
Sampai saat ini, Indonesia belum pernah melakukan riset tentang Menkes berlatar dokter dan bukan dokter.
Contoh saja ifo Institute – Leibniz Institute for Economic Research Universitas Munich yang melakukan analisa kuantitatif terhadap kualitas kepemimpinan Menkes berbagai latar belakang sejak tahun 1955-2017.
Jika dibaca maka itu memudahkan kita memahami kenapa IDI ribut dengan Menkes Budi.
Menkes yang dokter cenderung fokus urusan mikro: membereskan internal layanan kesehatan yang mereka kuasai, sedangkan Menkes bukan dokter akan membereskan sistem kesehatan yang sifatnya makro.
Nggak nyambung? Sudah pasti!
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
PPDS di Rumah Sakit Digaji Pemerintah, Menkes : Cara Mencetak Banyak Dokter Spesialis di Indonesia |
![]() |
---|
Rusia Umumkan Temuan soal Vaksin Kanker, Menkes Harap Uji Klinisnya Ada di Indonesia |
![]() |
---|
Bukan Obat, Ini Strategi Pemerintah Turunkan Jumlah Pasien Kanker Paru di Indonesia |
![]() |
---|
Kemenkes Targetkan RSUD di Setiap Provinsi Bisa Bedah Jantung Terbuka pada 2026 |
![]() |
---|
Menhan Ajak Tiga Menteri Tinjau Dapur hingga Kandang Sapi Yonif TP 843/PYV di Bekasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.