Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Sekolah Hijau dan Adiwiyata:  Mendidik Generasi Peduli Lingkungan

Melalui konsep sekolah hijau, program ini menanamkan nilai-nilai keberlanjutan sejak dini

|
Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan 

Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan

TRIBUNNERS - Di tengah meningkatnya krisis lingkungan global, seperti perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan hutan, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab besar menghasilkan generasi peduli terhadap kelestarian alam. Salah satu pendekatan strategis di Indonesia yang mendukung hal ini adalah implementasi program Adiwiyata—sebuah program pendidikan berbasis lingkungan yang bertujuan meningkatkan kepedulian dan berbudaya lingkungan. 

Melalui konsep sekolah hijau, program ini menanamkan nilai-nilai keberlanjutan sejak dini. Sekolah bukan sekadar tempat pengajaran formal, melainkan juga lahan subur menanamkan nilai-nilai cinta alam, tanggung jawab sosial, dan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan kehidupan di bumi.

Pendidikan lingkungan dalam kerangka sekolah hijau berupaya membentuk karakter murid agar dapat memahami konsep-konsep ekologis secara teoritis, dan membiasakan diri pada tindakan nyata. Dalam program Adiwiyata, para murid diajak melakukan berbagai praktik yang mendukung pelestarian lingkungan seperti pengelolaan sampah, konservasi energi, pelestarian air, penghijauan sekolah, dan kegiatan bersih-bersih secara berkala. 

Pembiasaan tersebut secara perlahan tetapi konsisten dapat membentuk kesadaran ekologis yang mengakar dalam kehidupan murid sehari-hari. Sekolah hijau mendorong pembelajaran agar tidak terputus dari lingkungan sekitar, dan membangun keterlibatan aktif seluruh warga sekolah menjaga bumi.

Baca juga: Unit Pendidikan Vokasi Kemenperin Kian Diminati, Pendaftar JARVIS Meningkat 

Menurut Edward O. Wilson (1984), seorang ahli biologi dan pencetus konsep "biophilia", manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan alami mencintai alam dan membangun hubungan emosional dengannya. Sayangnya, dalam kehidupan modern yang makin sibuk dan urban, hubungan ini perlahan tergerus. Anak-anak yang bertumbuh di lingkungan minim ruang hijau atau tidak memiliki pengalaman langsung dengan alam akan sulit mengembangkan empati terhadap lingkungan. 

Di sinilah peran sekolah menjadi vital. Sekolah hijau berpotensi menjadi ruang alternatif yang menghidupkan kembali hubungan emosional anak dengan alam melalui pengalaman belajar langsung di kebun sekolah, taman vertikal, atau kegiatan konservasi sederhana yang dilakukan bersama.

Lebih lanjut, David Orr (1994), seorang pakar pendidikan lingkungan dari Oberlin College, menegaskan bahwa berbagai bentuk edukasi seharusnya terhubung dengan pendidikan lingkungan. Dalam pandangannya, tidak ada satu pun bidang ilmu yang dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan bumi, karena seluruh aktivitas manusia—ekonomi, sains, seni, bahkan teknologi—selalu berdampak pada lingkungan. 

Oleh karena itu, pendidikan lingkungan tidak boleh terkotak-kotak hanya dalam mata pelajaran tertentu. Ia harus menjadi jiwa dari seluruh kurikulum dan budaya sekolah, agar murid menyadari bahwa hidup berkelanjutan merupakan nilai yang menyatu dalam segala hal, bukan sekadar pelengkap atau proyek tahunan.

Keberhasilan sebuah sekolah dalam program Adiwiyata bukan sekadar dinilai dari tampilan fisik yang hijau dan bersih, melainkan dari sejauh mana nilai-nilai kepedulian lingkungan telah meresap dalam pikiran dan tindakan warganya. 

Sekolah yang benar-benar menerapkan semangat Adiwiyata akan melahirkan murid unggul secara akademik, dan sekaligus memiliki empati terhadap sesama makhluk hidup dan bertanggung jawab terhadap kelestarian bumi. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi peka terhadap persoalan lingkungan dan bersedia terlibat dalam upaya-upaya penyelesaian, baik di rumah, masyarakat, maupun kelak ketika menjadi pemimpin di berbagai sektor kehidupan.

Sejumlah sekolah di Indonesia telah membuktikan keberhasilan mereka dalam mengembangkan program Adiwiyata hingga mencapai tingkat tertinggi, yakni Adiwiyata Mandiri. Capaian ini tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan buah dari kreativitas, kerja keras, dan kolaborasi antara kepala sekolah, guru, murid, dan komunitas sekitar. 

Banyak inovasi lokal yang telah mereka kembangkan, seperti pemanfaatan limbah organik untuk membuat kompos, pembuatan kerajinan dari plastik bekas, hingga pendirian bank sampah yang tidak hanya mendidik, tetapi juga memberi manfaat ekonomi. Semua ini adalah bentuk konkret dari pendidikan lingkungan yang membumi, berdampak, dan

Baca juga: Anggota DPRD Desie Christyana Dorong Perda Pendidikan Jadi Jaminan Anak di Jakarta Tak Putus Sekolah

berkelanjutan.

Namun demikian, penerapan konsep sekolah hijau dan Adiwiyata tidak selalu berjalan mulus. Masih banyak sekolah yang menghadapi tantangan dalam mewujudkan cita-cita ini.

 

Beberapa hambatan yang umum terjadi antara lain kurangnya komitmen dari pimpinan sekolah, minim pelatihan bagi guru dalam bidang pendidikan lingkungan, serta keterbatasan alokasi anggaran pengembangan infrastruktur hijau. 

Selain itu, dalam beberapa kasus, kegiatan lingkungan dilakukan demi kepentingan lomba atau pemenuhan indikator administratif, bukan sebagai bagian dari nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama agar program Adiwiyata tidak kehilangan makna sesungguhnya.

Dukungan dari berbagai pihak menjadi sangat penting untuk menghasilkan ekosistem pendidikan ramah lingkungan. Pemerintah melalui kementerian terkait perlu memperkuat kebijakan yang mendukung pendidikan lingkungan secara sistematis dan berkelanjutan. Dinas pendidikan daerah harus memastikan bahwa program Adiwiyata dijalankan dengan integritas dan tidak sekadar bersifat simbolik. 

Para orang tua, sebagai mitra utama sekolah, juga perlu dilibatkan dalam kegiatan sekolah hijau agar nilai-nilai yang dibangun di sekolah dapat dilanjutkan di rumah. Ketika semua elemen bergerak bersama, pendidikan lingkungan tidak lagi menjadi beban, tetapi justru menjadi budaya yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana diungkapkan oleh Dioum (1968) seorang insinyur kehutanan asal Senegal, dalam pidatonya pada konferensi UNESCO tahun 1968, yang menggugah kesadaran ekologi dunia, "In the end, we will conserve only what we love; we will love only what we understand; and we will understand only what we are taught." 

Ungkapan Dioum ini menegaskan bahwa cinta terhadap lingkungan hanya bisa tumbuh melalui proses pemahaman yang dibentuk oleh pendidikan. Maka, membiasakan anak-anak mencintai alam dimulai bukan dari larangan semata, melainkan dari pengajaran yang memanusiakan dan memberi ruang bagi anak untuk mengalami, mengamati, serta menghargai kehidupan dalam segala bentuknya.

Akhirnya, sekolah hijau dan program Adiwiyata bukanlah proyek jangka pendek, melainkan bagian dari gerakan besar membentuk manusia Indonesia cerdas dan bijaksana dalam menghadapi tantangan zaman. Dunia sedang menghadapi krisis lingkungan yang tidak main-main. 

Jika sekolah gagal meluluskan generasi peduli dan bertanggung jawab terhadap bumi, maka kita kehilangan harapan akan masa depan yang layak huni. Dengan membangun budaya peduli lingkungan di sekolah, kita menanam benih harapan. Karena sesungguhnya, menjaga bumi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral antar generasi. 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved