Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menelaah Putusan yang Bernuansa Hukum Adaptif

Terdapat beberapa putusan hakim yang dapat kategorikan sebagai putusan yang sesuai dengan operasionalisasi hukum adaptif.  Di antaranya kasus Fidelis.

Editor: Sri Juliati
KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan
HUKUM ADAPTIF - Fidelis Arie Sudewarto saat di ruang Cakra, Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat dalam sidang putusan kepemilikan 39 batang ganja, Rabu (2/8/2017). Terdapat beberapa putusan hakim yang dapat kategorikan sebagai putusan yang sesuai dengan operasionalisasi hukum adaptif.  Di antaranya kasus Fidelis. 

Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Pengadilan Negeri Sanggau dalam Kasus Fidelis Arie

Contoh kedua terjadi pada tahun 2017. Saat itu, masyarakat Indonesia pernah dihebohkan oleh Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Pengadilan Negeri Sanggau

Kehebohan itu sesungguhnya merupakan puncak dari cerita awal seorang bernama Fidelis Arie yang dituntut karena memiliki dan menggunakan ganja. 

Usut punya usut, ternyata ganja itu ia pergunakan untuk mengobati istrinya yang sakit parah. 

Secara fakta dan norma tentu tindakan tersebut melanggar UU Narkotika. 

Akan tetapi hakim menjatuhkan hukuman yang ringan atau di bawah minimum khusus dengan alasan pertimbangan berdasarkan motif kemanusiaan. 

Hakim memilih keluar dari kurungan teks undang-undang. Hakim lebih mempertimbangkan niat baik terdakwa yang bertujuan menyelamatkan nyawa istrinya. 

Pertimbangan selanjutnya, selain kondisi medis istri terdakwa, adalah kondisi keterbatasan pengetahuan terdakwa. 

Kondisi keterbatasan terdakwa Fidelie Arie dalam mengakses pengobatan alternatif yang legal membuatny mau tidak mau menggunakan ganja. 

Secara kontekstual, sesungguhnya kekurangan dimaksud adalah masalah sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Dengan memberikan hukuman di bawah minimum khusus menunjukkan bahwa hakim menghargai upaya seorang kepala keluarga dalam mencari solusi pengobatan bagi anggota keluarganya. Meskipun diketahui upaya itu dinilai bertentangan dengan hukum positif.

Baca juga: Hukum yang Adaptif: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Kehidupan Masa Depan yang Adil

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengakuan Hak Anak Luar Kawin

Terakhir adalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Putusan ini muncul atas pengujian atau pemintaan tafsir atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Pasal tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan ini dianggap diskriminatif terhadap anak luar kawin. 

Mahkamah melalui putusannya kemudian menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved