Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pengacara dan Buah Khuldi

Tuhan sudah melarang Adam dan Hawa untuk mendekati apalagi memakan buah yang oleh Iblis disebut sebagai buah keabadian itu.

Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
KASUS PENGACARA - Co-Founder Equality Law Firm-Setara Institute, Disna Riantina SH MH, berbicara soal peran dan deretan kasus yang menimpa pengacara saat ini. 

Oleh: Disna Riantina SH MH
Co-Founder Equality Law Firm-Setara Institute

TRIBUNNEWS.COM - Sepintar apa pun seorang pengacara, selihai apa pun dia beracara, selengkap apa pun dalil hukum yang dia punya, tanpa kemampuan lobi, nonsens akan memenangkan sebuah perkara. 

Demikianlah fenomena pengacara di Indonesia.

OC Kaligis, contohnya.

Sebagai seorang profesor alias guru besar, dan juga penulis banyak buku hukum, serta sudah punya jam terbang tinggi, kurang pintar dan lihai apa dia dalam beracara.

Tapi toh harus masuk penjara juga karena terbukti bersalah menyuap Majelis Hakim dan Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, saat membela kliennya, Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut tahun 2015 lalu. 

Ia sadar kepintaran, kelihaian, dalil hukum dan jam terbang yang dia punya tak akan berarti bila tidak bisa melakukan lobi.

Dan lobi itu ia lakukan dengan memberikan suap.

Akhirnya, suap pun ibarat buah Khuldi.

Tuhan sudah melarang Adam dan Hawa untuk mendekati apalagi memakan buah yang oleh Iblis disebut sebagai buah keabadian itu.

Tapi karena Adam dan Hawa tergoda ingin abadi di surga, maka manusia pertama dan kedua itu melanggar hukum Tuhan. Adam dan Hawa pun dihukum dengan diturunkan ke Bumi ini. 

Seperti Adam yang tergoda buah Khuldi, para pengacara, terutama yang "iman hukum"-nya lemah pun tergoda untuk melakukan suap demi memenangkan sebuah perkara.

Akhirnya, mereka melanggar sumpah jabatan sendiri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Teranyar adalah kasus suap dan gratifikasi terkait vonis lepas perkara korupsi persetujuan ekspor minyak sawit periode 2021-2022 yang disidangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dua dari delapan tersangka adalah pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. 

Kasus ini terungkap dari kasus suap Majelis Hakim PN Surabaya, Jawa Timur, yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti, kekasihnya sendiri.

Salah satu tersangka kasus suap ini adalah Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur.

Sejauh ini sudah ada puluhan pengacara atau advokat yang dihukum penjara karena terlibat kasus suap. 

Selain advokat, banyak pula hakim yang dipenjara karena kasus suap.

Teranyar adalah kasus suap dan gratifikasi terkait vonis lepas perkara korupsi persetujuan ekspor minyak sawit periode 2021-2022 yang melibatkan pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri itu. 

Sedikitnya ada 4 hakim yang ditetapkan menjadi tersangka. Mereka adalah Arif Nuryanta, Wakil Ketua PN Jakpus saat kasus suap terjadi, dan kini menjadi Ketua PN Jakarta Selatan, serta Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut, yakni Djuyamto (Ketua), Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin (Anggota).

Sekali lagi, kasus ini terungkap dari kasus suap Majelis Hakim PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur. 

Empat hakim terlibat suap dalam perkara ini, yakni Rudi Suparmono, Ketua PN Surabaya saat kasus terjadi, dan Majelis Hakim yang menyidangkan Ronald Tannur, yakni Erintuah Damanik (Ketua), Mangapul dan Heru Hanindyo (Anggota).

Tercatat, dalam setahun saja, Mahkamah Agung (MA) memecat 10 hakim dan menjatuhkan sanksi disiplin bagi 104 lainnya. Ini terjadi tahun 2022.

Maraknya kasus suap yang melibatkan hakim dan pengacara merupakan bukti bahwa menjadi pengacara pintar ilmu hukum dan lihai beracara saja tidak cukup.

Mereka juga harus pintar lobi. Bahwa ada pengacara yang tertangkap atau tidak, itu hanya soal nasib saja, meskipun tentu saja tidak semua pengacara mau melakukan lobi. Terutama pengacara yang berintegritas. 

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti dilansir sebuah media, jumlah tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan/profesi yang ditangani lembaga antirasuah tersebut mencapai 1.809 kasus.

Angka ini merupakan tindak pidana korupsi sejak 1 Januari 2004 hingga 5 Desember 2024. 

Dari jumlah itu, tindak pidana korupsi paling banyak dilakukan oleh pegawai swasta. Jumlahnya mencapai 466 kasus. 

Kemudian pelaku yang berasal dari pejabat eselon I, II, III dan IV berada di posisi kedua dengan 423 kasus. 

Posisi berikutnya anggota DPR RI dan DPRD dengan 358 kasus. Lalu, ada pula pelaku korupsi yang berasal dari latar belakang walikota/bupati dan wakilnya dengan 169 kasus. 

Selanjutnya, terdapat 41 kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala lembaga/pemerintahan.

Kemudian ada 31 kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim. 

Berikutnya, pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki latar belakang gubernur sebanyak 28 kasus. Lalu, terdapat 18 kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengacara

Di sisi lain, masih terdapat 275 tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh profesi lainnya.

Banyaknya hakim dan pengacara yang ditangkap karena kasus korupsi kiranya bisa menjadi momentum bagi semua "stakeholders" (pemangku kepentingan) untuk menghentikan "adat" suap-menyuap itu. 

Di sisi lain, juga bisa menimbulkan "detterence effect" (efek jera) bagi pelakunya, dan "shock therapy" (terapi kejut) bagi calon pelaku lainnya, sehingga bagi pengacara yang harus dikedepankan adalah kelihaian dalam beracara, penguasaan materi perkara, dan integritas. Tak perlu lobi-lobi lagi yang diwarnai suap dan berujung pada penjara.

Para advokat tak perlu lagi tergoda Khuldi (suap).

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved