Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Membongkar Epistemicide dalam Sistem Hukum Nasional

Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang berdiri di atas fondasi hukum kolonial.

|
Editor: Sri Juliati
freepik.com
ILUSTRASI HUKUM - Gambar ilustrasi tentang hukum yang diambil dari situs freepik.com, Senin (14/4/2025). Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dan dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang terlalu lama berdiri di atas fondasi hukum-hukum kolonial. 

Jenis, isi, dan tata cara pembentukan dari mulai kodifikasi maupun pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru semua mengikuti pola Barat.

Sementara hukum adat, atau hukum yang justru menjadi roh kehidupan masyarakat Nusantara sejak dahulu, hanya diberi ruang sebagai pelengkap. 

Dia sesekali dipertimbangkan, dengan asas legalitas materiil, itupun apabila tidak ada hukum tertulis atau recht vacuum

Hukum adat artinya diposisikan hanya menjadi bayang-bayang bukan indikator utama pembangunan hukum nasional.

Padahal, jika kita hendak jujur, hukum adat di Indonesia itu bukan sekadar kumpulan kebiasaan. 

Hukum adat di Indonesia adalah sistem pengetahuan, etika, dan spiritualitas yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia

Ia memiliki struktur, sanksi, lembaga, dan nilai yang benar-benar konkret. 

Akan tetapi karena tidak dimasukkan ke dalam aturan perundangan-undangan, tidak ada dalam rumusan pasal-pasal, dan tidak ditulis dengan bahasa hukum, ia kemudian dianggap "tidak ilmiah".

Legitimasi Barat

Tanpa kita sadari sesungguhnya, di luar dari adanya kebaikan yang ditimbulkan, pengetahuan hukum Barat bukan hanya datang sebagai sistem. 

Pengetahuan hukum barat juga hadir sebagai pola pikir, sudut pandang, bahkan ideologi. 

Ia mencoba memaksa sarjana dan penegak hukum Indonesia untuk mengutamakan universalitas, netralitas, dan rasionalitas. 

Dengan pola pikir itu, kemudian setali tiga uang artinya hukum adat yang kontekstual, berbasis hubungan sosial dan nilai kolektif, dianggap "tidak modern" dan harus "diperbarui".

Melalui pola pikir berhukum yang telah terbentuk tadi lantas lembaga-lembaga hukum di negeri ini seringkali mengabaikan suara masyarakat adat. 

Sebagai contoh ketika tanah adat dirampas oleh perusahaan melalui bantuan negara (dalam bahasa Frederic Bastiat disebut dengan legal plunder) dan masyarakat mengadu ke pengadilan.

Mereka kemudian dihadapkan pada logika hukum yang tak mengenal nilai sakral tanah bagi leluhur mereka. 

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved