Tribunners / Citizen Journalism
Membongkar Epistemicide dalam Sistem Hukum Nasional
Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang berdiri di atas fondasi hukum kolonial.
Jenis, isi, dan tata cara pembentukan dari mulai kodifikasi maupun pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru semua mengikuti pola Barat.
Sementara hukum adat, atau hukum yang justru menjadi roh kehidupan masyarakat Nusantara sejak dahulu, hanya diberi ruang sebagai pelengkap.
Dia sesekali dipertimbangkan, dengan asas legalitas materiil, itupun apabila tidak ada hukum tertulis atau recht vacuum.
Hukum adat artinya diposisikan hanya menjadi bayang-bayang bukan indikator utama pembangunan hukum nasional.
Padahal, jika kita hendak jujur, hukum adat di Indonesia itu bukan sekadar kumpulan kebiasaan.
Hukum adat di Indonesia adalah sistem pengetahuan, etika, dan spiritualitas yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Ia memiliki struktur, sanksi, lembaga, dan nilai yang benar-benar konkret.
Akan tetapi karena tidak dimasukkan ke dalam aturan perundangan-undangan, tidak ada dalam rumusan pasal-pasal, dan tidak ditulis dengan bahasa hukum, ia kemudian dianggap "tidak ilmiah".
Legitimasi Barat
Tanpa kita sadari sesungguhnya, di luar dari adanya kebaikan yang ditimbulkan, pengetahuan hukum Barat bukan hanya datang sebagai sistem.
Pengetahuan hukum barat juga hadir sebagai pola pikir, sudut pandang, bahkan ideologi.
Ia mencoba memaksa sarjana dan penegak hukum Indonesia untuk mengutamakan universalitas, netralitas, dan rasionalitas.
Dengan pola pikir itu, kemudian setali tiga uang artinya hukum adat yang kontekstual, berbasis hubungan sosial dan nilai kolektif, dianggap "tidak modern" dan harus "diperbarui".
Melalui pola pikir berhukum yang telah terbentuk tadi lantas lembaga-lembaga hukum di negeri ini seringkali mengabaikan suara masyarakat adat.
Sebagai contoh ketika tanah adat dirampas oleh perusahaan melalui bantuan negara (dalam bahasa Frederic Bastiat disebut dengan legal plunder) dan masyarakat mengadu ke pengadilan.
Mereka kemudian dihadapkan pada logika hukum yang tak mengenal nilai sakral tanah bagi leluhur mereka.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meski Tak Lagi di DPR, Rahayu Saraswati Dinilai Jadi Teladan Politik Generasi Muda |
![]() |
---|
Jadwal Perempat Final China Masters 2025: Aroma Balas Dendam Fajar/Fikri dari Utusan Malaysia |
![]() |
---|
Garuda Gabung TIACA, Indonesia Kini Punya Suara di Forum Kargo Udara Global |
![]() |
---|
Klasemen Futsal Four Nations Cup 2025 - Indonesia Pertama Berkat Pesta, Belanda Susah Payah 3 Poin |
![]() |
---|
Toyota Luluskan 70 Mahasiswa AKTI, Siapkan SDM Unggul Hadapi Era Elektrifikasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.