Selasa, 7 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Fenomena Sertifikat Tanah Ganda dan Kepastian Hukum oleh Negara 

Sertifikat tanah dan warkah merupakan arsip vital yang memiliki nilai hukum tinggi dan harus dijaga integritas, keamanan, dan keteraksesannya. 

HandOut/IST
PENULIS ARTIKEL - IGN Agung Y Endrawan, analis hukum yang juga mantan Direktur Kebijakan Bakamla. Agung menulis soal ulasan seputar fenomena sertifikat tanah ganda yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. 

Fenomena Sertifikat Tanah Ganda dan Kepastian Hukum oleh Negara 

Oleh:

IGN. AGUNG Y. ENDRAWAN, SH, MH, CCFA

Analis Hukum, mantan Analis Senior Hukum OJK, mantan Direktur Kebijakan Bakamla, Mahasiswa S3 Kebijakan Publik

KASUS tumpang tindih sertifikat tanah yang dialami oleh Ibu Anni Sri Cahyani di pemberitaan media internet, merupakan cerminan nyata tantangan mendasar dalam sistem tata kelola pertanahan nasional.

Peristiwa ini bukanlah kejadian yang bersifat insidental. Di berbagai wilayah, kasus serupa turut terjadi.

Penulis sendiri dan seorang warga bernama Sandi, turut mengalami kondisi serupa, yaitu munculnya dua sertifikat atau klaim hak atas bidang tanah yang sama.

Fenomena ini memperlihatkan, persoalan sertifikat ganda bukan semata persoalan teknis administrasi, melainkan gejala dari persoalan struktural yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Apabila informasi yang disampaikan Ibu Anni benar, kalau dirinya memegang sertifikat yang sah dan lebih dahulu diterbitkan oleh instansi resmi yang berwenang, namun kemudian muncul sertifikat lain atas objek yang sama yang didasarkan pada dokumen yang terbukti melalui pengadilan pidana ada perbuatan pemalsuan, maka wajar bila muncul pertanyaan dari publik mengenai “rasa keadilan” dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi warga negaranya sebagaimana mandat konstitusi.

Situasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian administratif atau materiel, tetapi juga dapat menggoyahkan kepercayaan publik terhadap prinsip negara hukum (rechtstaat).

Secara nalar hukum, dua sertifikat yang sah tidak dapat diterbitkan atas bidang tanah yang sama.

Artinya, salah satunya mesti dinyatakan tidak berlaku. 

Keberadaan dua klaim yang dilegitimasi oleh lembaga yang sama pada objek yang identik menciptakan ketidakpastian hukum yang tidak dapat dibenarkan.

Mengacu pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum.

Kata “menjamin” tentu bukan sekadar prosedur administratif, melainkan mencakup tanggung jawab substantif untuk memastikan bahwa setiap dokumen dan data pertanahan yang digunakan dalam proses pendaftaran adalah sah, valid, dan tidak mengandung potensi sengketa di kemudian hari, sepanjang dimaknai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pernyataan sebagian bahwa lembaga pertanahan hanya bersifat sebagai pencatat data administratif perlu dilihat kembali secara lebih cermat.

Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebagai institusi negara yang memiliki kewenangan strategis, seharusnya berperan aktif dalam menjamin keabsahan, validitas, dan keutuhan dokumen yang digunakan dalam penerbitan sertifikat.

Ketentuan ini dikuatkan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Ayat (1) menyatakan bahwa sertifikat sebagai tanda bukti hak memiliki kekuatan hukum yang “kuat” selama data fisik dan yuridis yang tercantum di dalamnya sesuai dengan yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah. 

Ayat (2) menambahkan bahwa apabila seseorang memperoleh tanah dengan itikad baik dan telah menguasainya secara nyata selama lebih dari lima tahun tanpa ada keberatan yang diajukan, maka klaim dari pihak lain tidak dapat lagi digunakan untuk menggugat hak atas tanah tersebut.

Ketentuan ini menegaskan bahwa proses verifikasi dan kehati-hatian dalam penerbitan sertifikat menjadi fondasi utama bagi validitas hukum hak atas tanah.

Terlebih jika penerbitan sertifikat dilakukan atas dasar dokumen yang kemudian melalui putusan pengadilan terbukti palsu, maka tindakan tersebut harus dinilai cacat secara hukum administrasi.

Hal ini sejalan dengan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa pejabat berwenang dapat membatalkan keputusan administrasi apabila terbukti terdapat cacat hukum, baik dari sisi kewenangan, prosedur, maupun substansi.

Selain itu, prinsip-prinsip yang tertuang dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 jo.

Pasal 10 undang-undang yang sama, mengamanatkan bahwa setiap keputusan pemerintahan harus memenuhi asas kepastian hukum, kecermatan, serta tidak menyalahgunakan wewenang.

Oleh karena itu, penerbitan sertifikat ganda tanpa verifikasi yang memadai berpotensi melanggar terhadap prinsip-prinsip dasar tersebut.

Ketika ada potensi dari lembaga yang berwenang mengurusi pertanahan menyatakan bahwa dokumen pendukung seperti warkah tidak dapat ditemukan atau dinyatakan hilang, maka situasi ini semestinya menjadi alarm atau warning reminder akan lemahnya sistem pengelolaan arsip pertanahan.

Sertifikat tanah dan warkah merupakan arsip vital yang memiliki nilai hukum tinggi dan harus dijaga integritas, keamanan, dan keteraksesannya. 

Berdasarkan Pasal 3 huruf b dan c UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, pengelolaan arsip bertujuan “menjamin” tersedianya arsip autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah serta “menjamin” perlindungan terhadap hak keperdataan rakyat.

Pasal 83 dalam undang-undang tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak menjaga keutuhan, keamanan, dan keselamatan arsip negara yang terjaga untuk kepentingan negara dapat dikenai sanksi pidana.

Dari sisi pelayanan publik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan bahwa ASN wajib memberikan pelayanan yang profesional, jujur, transparan, dan akuntabel.

Pasal 10 mengatur asas pelayanan publik sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan Pasal 11 huruf b menyatakan kewajiban ASN dalam memberikan layanan yang berkualitas.

Maka, apabila terdapat ASN yang lalai atau tidak cermat dalam proses penerbitan sertifikat ganda, maka hal tersebut semestinya ditindaklanjuti melalui mekanisme pertanggungjawaban administratif maupun etik.

Dalam konteks modernisasi, digitalisasi pertanahan merupakan langkah positif yang perlu diteruskan.

Namun, digitalisasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa penguatan sistem pendukung. Negara perlu mengembangkan sistem hibrida, di mana sertifikat fisik dilengkapi dengan teknologi pengaman seperti barcode, QR code, atau hologram, yang terhubung langsung dengan data digital yang valid dan dapat diakses oleh pihak yang berhak melalui otorisasi akun pribadi yang aman.

Namun, teknologi hanyalah alat.

Masalah yang lebih fundamental terletak pada tata kelola, integritas birokrasi, dan pengawasan.

Oleh karena itu, penerapan sistem manajemen anti-penyuapan (ISO 37001) dan manajemen mutu pelayanan (ISO 9001) patut didorong sebagai standar pelayanan publik di lingkungan BPN dan instansi terkait lainnya.

Dari perspektif data, integrasi antarlembaga menjadi syarat mutlak.

Ketika terjadi sengketa atas satu bidang tanah, maka seluruh data yang terkait harus dibuka secara transparan kepada kedua pihak yang berkepentingan. 

Tidak boleh ada informasi yang ditutup-tutupi karena bertentangan dengan semangat transparansi informasi publik terbatas pada pihak-pihak yang berkepentingan dan prinsip keadilan yang menjunjung tinggi nilai kebenaran berdasarkan hati nurani.

Ke depan, diharapkan pembangunan sistem satu data pertanahan nasional yang terintegrasi antara BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), Direktorat Jenderal Pajak, dan pemerintah daerah harus diprioritaskan.

Langkah ini dapat diawali dengan audit nasional terhadap data pertanahan dan perpajakan, serta pembangunan interoperabilitas sistem yang andal dan akurat.

Sebagai bagian dari ikhtiar pembenahan, perlu kiranya dipertimbangkan untuk diusulkan agar reformasi pertanahan dilakukan secara menyeluruh dan sistematis.

Langkah ini mencakup harmonisasi regulasi dan teknis, penguatan sistem arsip dan dokumen, peningkatan “integritas” layanan publik, meritokrasi, serta penyederhanaan birokrasi dan pemanfaatan langsung yang dirasakan masyarakat dengan teknologi tinggi tepat guna secara bijak dan bertanggung jawab.

Negara melalui organnya juga diharapkan dapat mengambil langkah korektif dengan melakukan pembatalan administratif terhadap sertifikat yang “terbukti” diterbitkan melalui prosedur yang cacat.

Keberpihakan negara kepada warga yang dirugikan bukan sekadar bentuk tanggung jawab hukum, tetapi juga ekspresi moral dari negara hukum yang berpihak kepada keadilan dan kejujuran.

Sebagai penutup, dalam benturan antara kebenaran dan kekuasaan, seyogyanya negara tidak boleh berdiri di tengah.

Ia harus tegak lurus di sisi kebenaran dan keadilan, agar hukum kembali bermakna dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik (pemerintah) tetap terjaga.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved