Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien

Benarkah Dokter Priguna Mengidap Gangguan Somnofilia?

Benarkah dokter residen Priguna Anugerah Pratama mengidap gangguan Somnofilia?

Kolase: Tangkap layar kanal YouTube Baitul Maal Hidayatullah dan Instagram.com/humaspoldajabar
KASUS RUDAPAKSA - (Kiri) Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel dan (Kanan) Priguna Anugerah Pratama, dokter PPDS. Sang dokter disebut mempunyai gangguan Somnofilia. Benarkah demikian? 

Oleh: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik

TRIBUNNERS - Kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter residen Priguna Anugerah Pratama terhadap pasien dan keluarga pasien di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung.

Belakangan, dia disebut mempunyai gangguan Somnofilia. Benarkah demikian?

Coba tanya ke Priguna atau katakanlah P, pada momen apa dia pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa? 

Somnofilia mirip dengan nekrofilia, yakni keterangsangan seksual pada manusia yang tengah berada dalam kondisi pasif atau tidak sadar. 

Nekrofilia, pada mayat. Somnofilia, pada orang bernyawa. 

Benarkah P adalah pengidap somnofilia? 

Beritanya, dia mengelabui targetnya ketika target dalam keadaan sadar. 

Lalu, menggunakan cara kekerasan berupa bius. Setelah target berada dalam kondisi pasif, yakni kehilangan kesadaran, barulah P setubuhi dia. 

Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa P sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual, ketika si target berada dalam keadaan sadar. 

Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan. 

Kondisi pasif (tidak sadar) si target bukanlah sesuatu yang membuat P terangsang. 

Kondisi tidak sadar si target merupakan kondisi yang P ciptakan dengan cara kekerasan (paksaan)  agar dia dapat memenuhi nafsu seksualnya tanpa perlawanan sama sekali dari targetnya. 

Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawaan, itu modus biasa dalam perkosaan. Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu. 

Jadi, mengapa polisi malah berfokus pada perdebatan tentang ketertarikan seksual si P? Polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada 1) tidak adanya persetujuan (consent) dari orang-orang yang P setubuhi, dan 2) pada penggunaan kekerasan yang P jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya. 

UU TPKS menempatkan KS sebagai kejahatan serius. Pelakunya, dengan demikian, harus dihukum seberat-beratnya. Semestinya itulah target penegakan hukum. Polisi, dengan kata lain, sepatutnya memakai cara berpikir retributif. 

Tapi kontras, Polda Jabar justru membuka celah bagi tersangka--nantinya terdakwa--untuk memperoleh peringanan pidana lewat narasi kelainan seksual. 

Kelainan berasosiasi dengan gangguan, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan, dan semacamnya. 

Sehingga, alih-alih retributif, polisi justru seolah memakai cara pandang rehabilitatif. Bahwa, pelaku berbuat jahat akibat pengaruh kelainan yang ia idap. 

Sehingga, logis, kelainan harus diobati. Padahal, andai kelainan seksual itu benar-benar ada, bukan polisi melainkan penasehat hukum tersangka yang punya kepentingan membangun narasi itu. 

Jadi, kendati rencana melibatkan disiplin non hukum ke dalam kerja penegakan hukum adalah positif, namun diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini.

Cara itu--salah kaprah--bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika ia divonis bersalah.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved