Tribunners / Citizen Journalism
Indeks Harga Saham Gabungan
Ambruknya IHSG 2025: Akar Masalah dan Jalan Pemulihan Ekonomi Indonesia
Di tengah tantangan ini, penting untuk diingat bahwa Indonesia telah menunjukkan resiliensi dalam menghadapi krisis sebelumnya.
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
Oleh: Muhammad RahmadDirektur Eksekutif AISS (Asian Institute for Strategic Studies)
TRIBUNNERS - Pasar saham Indonesia mengalami guncangan hebat pada 18 Maret 2025, dengan IHSG terjun 6,11 persen hingga menyentuh level 6.076.
Kejatuhan ini memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan trading halt selama 30 menit—tanda bahaya yang tak terlihat sejak pandemi Covid-19.
Apa yang terjadi bukanlah sekadar fluktuasi pasar biasa, melainkan sinyal dari permasalahan ekonomi yang lebih dalam.
Kejadian ini mengejutkan karena terjadi saat indeks bursa regional Asia justru menunjukkan tren positif: Nikkei naik 1,4%, Shanghai menguat 0,09%, Singapura (STI) tumbuh 1%, dan Malaysia (FKLCI) bertambah 1%. Anomali ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi Indonesia bersifat domestik dan struktural.
Baca juga: Media Asing Sorot IHSG Anjlok, Perdagangan Saham di Indonesia Sempat Dibekukan
Menelusuri lebih dalam, kemerosotan IHSG berakar pada krisis fiskal yang memburuk.
Pendapatan negara turun drastis hingga 30%, dengan penerimaan pajak anjlok 30,19% secara tahunan—hanya mencapai Rp 269 triliun.
Defisit APBN membengkak mencapai Rp 31,2 triliun pada Februari 2025, sementara rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 44,77% pada Januari. Meski masih di bawah batas legal 60%, angka ini memberikan sinyal peringatan.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengatasi situasi dengan program efisiensi belanja 15% pada pos-pos non-esensial.
Namun langkah ini terbukti jauh dari cukup. Pengurangan 15% tidak sebanding dengan penurunan pendapatan 30%, apalagi mengingat sebagian besar anggaran Indonesia dialokasikan untuk belanja mandatori seperti pembayaran utang, gaji pegawai, dan transfer daerah.
Hasilnya, penghematan riil mungkin hanya sekitar 5-6?ri total anggaran.Kebijakan-kebijakan ekspansif pemerintah justru memperburuk persepsi pasar dan memicu kekhawatiran luas di kalangan investor.
Program ambisius 3 juta rumah yang dibebankan pada bank-bank BUMN telah meningkatkan risiko keuangan lembaga-lembaga strategis tersebut, sementara membebani neraca mereka dengan kewajiban jangka panjang yang substansial.
Bersamaan dengan itu, pendirian lembaga keuangan Danantara yang membutuhkan suntikan modal awal signifikan dari APBN dan agresifnya ekspansi pembangunan perumahan subsidi telah menciptakan tekanan fiskal tambahan pada keuangan negara yang sudah mengalami tekanan.
Investor institusional dan pelaku pasar profesional semakin khawatir bahwa ekspansi kebijakan ini terjadi di saat yang tidak tepat—ketika dasar-dasar fiskal sudah menunjukkan kerentanan serius.
Akibatnya, terjadi pergeseran portofolio secara luas dari saham Indonesia menuju instrumen investasi yang dianggap lebih aman dan menawarkan kepastian imbal hasil yang lebih tinggi, seperti obligasi pemerintah negara maju dan emas—fenomena flight to quality yang khas dalam situasi meningkatnya ketidakpastian ekonomi.
Lembaga keuangan global pun merespons negatif. Morgan Stanley dan Goldman Sachs memangkas rating saham-saham Indonesia.
Credit Default Swap meningkat ke 76 basis point dan spread SBN dengan US Treasury 10 tahun melebar hingga 255 basis poin—indikator jelas meningkatnya persepsi risiko terhadap Indonesia.
Situasi ini mencerminkan kekhawatiran akan defisit anggaran yang melebar menjadi 2,9?ri PDB, risiko fiskal akibat realokasi anggaran dan pendirian Danantara, serta dampak dari tensi kebijakan tarif yang melemahkan rupiah.
Tak dapat diabaikan, dimensi politik turut berperan dalam memperburuk krisis ekonomi ini. Transisi kepemimpinan pasca-pemilu 2024 membawa perubahan signifikan dalam pendekatan kebijakan ekonomi.
Pemerintahan baru mengedepankan agenda populis yang menekankan kesejahteraan jangka pendek dengan konsekuensi fiskal jangka panjang.
Dinamika koalisi politik yang rumit telah menghalangi implementasi kebijakan fiskal yang lebih disiplin, sementara pertimbangan elektoral tahun 2029 membuat pengambil kebijakan enggan mengambil langkah-langkah pengetatan yang diperlukan namun tidak populer. Ketidakpastian politik ini menjadi faktor penguat yang memperdalam kekhawatiran investor.
Sektor swasta Indonesia juga mengalami tekanan tersendiri dalam menghadapi krisis ini.
Perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi kini menghadapi tantangan seriu: peningkatan biaya pinjaman akibat kenaikan suku bunga, tekanan margin karena melemahnya daya beli konsumen, dan ketidakpastian regulasi yang menghambat perencanaan investasi jangka panjang.
Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, kali ini sektor korporasi masuk dalam kondisi yang kurang optimal dengan tingkat utang yang relatif tinggi setelah ekspansi agresif pasca-pandemi.
Kebijakan pembatasan impor yang diterapkan sebagai respons terhadap tekanan neraca perdagangan justru mempersulit perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor, menciptakan inefisiensi produksi dan mengurangi daya saing.
Belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia bisa memetik pelajaran berharga.
Ketika Tiongkok menghadapi krisis likuiditas properti (2021-2023) dengan runtuhnya Evergrande dan Country Garden, pemerintah Tiongkok menerapkan intervensi terukur dan fokus pada penyelesaian proyek yang sudah berjalan, mencegah kepanikan yang lebih luas.
Amerika Serikat, saat menghadapi mini banking crisis 2023 dengan kolapsnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank, menunjukkan pentingnya respons cepat dan transparansi. Dalam 48 jam, pemerintah AS mengumumkan langkah perlindungan deposan yang mencegah efek domino.
Turki menawarkan pelajaran dari sisi yang berbeda. Pada 2018-2021, kebijakan moneter yang tidak konvensional dan penolakan menaikkan suku bunga di tengah tekanan inflasi mengakibatkan depresiasi lira yang tajam dan krisis kepercayaan yang berkepanjangan.
Kasus Turki mengingatkan bahwa kredibilitas kebijakan jauh lebih penting daripada intervensi jangka pendek.
Krisis IHSG 2025 juga perlu dipahami dalam konteks tren global jangka panjang yang mempengaruhi ekonomi Indonesia. Transisi energi global yang semakin cepat telah mengubah prospek jangka panjang komoditas fosil—sumber devisa utama Indonesia.
Pergeseran rantai pasok global pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik antara blok ekonomi besar menciptakan baik peluang maupun tantangan bagi perekonomian yang sangat terbuka seperti Indonesia.
Perubahan iklim dengan dampaknya yang semakin nyata terhadap produksi pangan dan infrastruktur menambah tekanan fiskal jangka panjang. Tanpa penyesuaian struktural yang mempersiapkan Indonesia menghadapi tren-tren ini, volatilitas seperti yang terjadi pada Maret 2025 bisa menjadi norma baru.
Lalu, apa langkah strategis yang dapat mengakhiri ambruknya IHSG di bursa Indonesia?
Pertama, diperlukan reformasi fiskal komprehensif yang melampaui sekadar efisiensi belanja. Indonesia perlu memperluas basis pajak melalui pajak kekayaan progresif dan pembenahan administrasi perpajakan dengan teknologi digital.
Dalam konteks Indonesia, pajak kekayaan progresif bisa diterapkan dengan ambang batas yang cukup tinggi—misalnya pada aset di atas Rp 50 miliar—untuk menghindari dampak pada kelas menengah.
Efisiensi belanja harus menggunakan pendekatan zero-based budgeting, bukan pemotongan persentase sederhana, dengan mengharuskan setiap kementerian dan lembaga mempertahankan justifikasi atas setiap rupiah anggaran.
Kedua, program-program strategis perlu direstrukturisasi dengan pendekatan pragmatis. Program 3 juta rumah sebaiknya diterapkan secara bertahap, misalnya dengan target 500.000 unit per tahun yang difokuskan pada kelompok berpenghasilan rendah.
Model bisnis Danantara perlu ditransformasi menjadi lembaga dengan pendanaan hybrid yang tidak sepenuhnya bergantung pada APBN, dengan minimal 40% modal berasal dari investor swasta dan internasional.
Proyek-proyek infrastruktur perlu diurutkan berdasarkan prioritas, dengan beberapa proyek yang kurang krusial ditunda hingga kondisi fiskal membaik.
Ketiga, koordinasi kebijakan fiskal-moneter harus diperkuat.
Pembentukan Komite Stabilitas Ekonomi Nasional yang melibatkan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS dapat memastikan respons terintegrasi terhadap krisis.
Joint communiqué antara otoritas fiskal dan moneter akan memberikan kepastian pada pasar tentang arah kebijakan ekonomi. Komite ini idealnya bersifat independen dan memiliki otoritas untuk memberikan rekomendasi mengikat pada lembaga-lembaga terkait dalam situasi krisis.
Keempat, manajemen utang perlu dijalankan secara strategis. Liability management exercise untuk memperpanjang tenor utang dan programmatic approach dalam penerbitan obligasi akan mengurangi risiko refinancing dan ketidakpastian pasar.
Indonesia juga dapat mempertimbangkan debt-for-nature swaps untuk mengurangi beban utang sekaligus mendukung agenda lingkungan, mengikuti keberhasilan program serupa di Ekuador dan Costa Rica.
Kelima, kredibilitas kebijakan perlu diperkuat melalui keterbukaan informasi. Pendirian independent fiscal council yang terdiri dari ekonom terkemuka dari berbagai latar belakang dapat memberikan penilaian obyektif terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.
Peningkatan transparansi melalui laporan bulanan realisasi anggaran yang dipublikasikan secara luas, termasuk analisis risiko fiskal yang komprehensif, akan membangun kepercayaan investor.
Tak kalah penting, sektor swasta harus dilibatkan secara aktif dalam proses pemulihan ekonomi. Pemerintah perlu menciptakan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan investasi domestik, seperti tax holidays yang ditargetkan untuk sektor-sektor prioritas dalam hilirisasi industri.
Kebijakan deregulasi yang fokus pada pengurangan hambatan birokrasi dan perizinan dapat mendorong pertumbuhan UMKM dan start-up yang menjadi mesin penciptaan lapangan kerja. Dialog public-private yang terstruktur dan reguler dapat memastikan kebijakan ekonomi selaras dengan kebutuhan sektor riil.
Di tengah tantangan ini, penting untuk diingat bahwa Indonesia telah menunjukkan resiliensi dalam menghadapi krisis sebelumnya.
Krisis 1998 dengan pertumbuhan ekonomi minus 13?n nilai tukar rupiah yang terjun hingga Rp 17.000 jauh lebih parah dari situasi sekarang. Demikian pula krisis pandemi Covid-19 yang mengakibatkan kontraksi ekonomi namun berhasil diatasi melalui kebijakan countercyclical yang tepat.
Ambruknya IHSG pada Maret 2025 harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki fundamental ekonomi.
Dengan penanganan yang tepat—mengatasi akar masalah, bukan sekadar gejalanya—Indonesia tidak hanya dapat keluar dari krisis ini, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan di masa depan.
Seperti kata bijak, "Jangan sia-siakan krisis yang baik." Inilah saat untuk membangun ekonomi Indonesia yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan berkeadilan, dengan menyelaraskan kebijakan ekonomi jangka pendek dengan tren transformatif jangka panjang yang akan membentuk ekonomi global dalam dekade mendatang.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Indeks Harga Saham Gabungan
Ini Biang Kerok IHSG Anjlok 9 Persen Usai Libur Lebaran, Investor Saham Berharap ke Prabowo |
---|
BREAKING NEWS : Indeks Amblas, BEI Berlakukan Trading Halt, Ini Sejumlah Saham Penekan IHSG |
---|
Respons Melemahnya Rupiah dan Turunnya IHSG, Airlangga Tegaskan Fundamental Ekonomi Indonesia Kuat |
---|
Misbakhun Minta Investor di BEI Tidak Terpengaruh Rumor dan Persepsi |
---|
Prabowo Sebut Harga Saham Turun Tak Masalah Asalkan Harga Pangan Aman |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.