Tribunners / Citizen Journalism
Jejak Prabowo Dalam Proposal Trump Demi Ukraina
Pidato Prabowo di forum IISS Shangri-La Dialogue ke-20 pada awal Juni 2023 memicu respons keras dari Ukraina, mayoritas merasa dirugikan
AKHIR Februari 2024, saya menulis di Tribunnews sebuah catatan refleksi dua tahun konflik Ukraina-Rusia.
Saya sebut refleksi karena Desember 2023, saya berkunjung ke Ukraina bersama rombongan masyarakat sipil Indonesia terdiri dari akademisi, perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), staf ahli di DPR hingga Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Satu hal merisaukan tiap kali kami bertamu ke masyarakat sipil dan pemerintahan Ukraina adalah pertanyaan tentang usulan—saat itu Menteri Pertahanan—Prabowo Subianto--di forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20 pada awal Juni 2023.
Ada empat usulan Prabowo yakni Pertama, memaksa kedua belah pihak gencatan senjata; Kedua, diberlakukan wilayah bebas militer atau Demilitarized Zone (DMZ); Ketiga, mengizinkan pasukan perdamaian PBB beroperasi di wilayah yang kini dikuasai Rusia; Keempat, dilakukan referendum.
Pidato Prabowo hanya lima menit, tapi memicu respons keras dari Ukraina, mayoritas merasa dirugikan!
Kok Indonesia yang pernah dibantu agar bisa diakui dan bisa berdiplomasi di PBB tak tahu berterima kasih.
Namun, seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Ukraina yang pernah berhutang nyawa diselamatkan Prabowo saat Jakarta dilanda kerusuhan, secara tersirat dia punya pendapat berbeda.
Baca juga: Keir Starmer: Inggris dan Prancis Siap Kerja Sama untuk Rencana Perdamaian Ukraina
Hal serupa namun lebih gamblang saya terima dari seorang diplomat Ukraina yang menemui Prabowo secara langsung di Jakarta.
Sambil ngemil telur rebus di apartemennya, diplomat itu menuturkan penjelasan gamblang dari Prabowo.
Pertama, ketika semua pihak sibuk mengutuk Rusia, tidak satupun ada pemimpin yang secara gamblang memberikan solusi konkret agar terjadi gencatan senjata. Kedua, Prabowo hanya diberikan kesempatan waktu yang singkat.
Pak Diplomat Ukraina penyuka batu akik itu lalu mengingatkan bahwa diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi dan berdialog untuk memengaruhi keputusan dan perilaku pihak lain.
Langkah-langkah yang ditempuh panjang dan berliku, yang mungkin jauh dari citra patriotik!
Dia mengingatkan tak banyak yang sadar dan tak banyak orang mau mengakui, lima bulan kemudian setelah pidato kontroversial Prabowo, mantan bos NATO, Anders Fogh Rasmussen mengutarakan ide yang mirip dengan usulan Prabowo.
Hal yang membedakan, usul Rasmussen lebih radikal karena memaksa Rusia mundur dan memungkinkan Ukraina yang lelah mengkonsolidasikan kekuatan internal dan NATO sebagai kekuatan pendukung utama punya waktu menggelar persenjataan di masa gencatan senjata.
Sejarah mencatat, usulan Prabowo dan Rasmussen mungkin sekadar dianggap angin lalu oleh Rusia dan Amerika.
Rusia yang dipimpin Vladimir Putin jelas ogah, sementara Amerika masih dikuasai rezim Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat yang saya nilai enigma.
Kenapa Partai Demokrat saya sebut enigma?
Pasalnya di satu sisi berkoar membela Ukraina habis-habisan, tapi di sisi lain memperumit bantuan persenjataan yang vital nan mendesak bagi Ukraina dengan topeng akuntabilitas anggaran. Ironis!
Baca juga: Pertemuan Hangat Zelensky dan Starmer: Dukungan Inggris untuk Ukraina
Prabowo-Trump
Lha lalu apa hubungannya usulan Prabowo Subianto dengan pertunjukan saling berbantah antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky pada 28 Februari 2025 secara langsung di televisi.
Saya harus mengakui menjadi bagian mayoritas: mengecam sangat keras tindakan Donald Trump.
Hal ini saya nilai normal karena akal sehat saya tertutupi oleh simpati berlebihan kepada rakyat Ukraina yang menderita jadi korban invasi sejak tahun 2014.
Sikap saya tak ubahnya Tan Malaka yang di tahun 1946 lantang menolak diplomasi dengan Belanda dan lebih memilih jalan perjuangan fisik untuk meraih kemerdekaan, berbeda dengan Soekarno-Hatta-Sjahrir yang lebih condong pada diplomasi dan kurang heroik.
Butuh waktu sehari untuk merenung dan kembali mengingat ucapan Pak Diplomat Ukraina penyuka batu akik bahwa diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi dan berdialog. Langkah-langkah yang ditempuh panjang dan berliku.
Pertama, sudah jelas perdamaian Ukraina-Rusia adalah janji politik Trump.
Artinya segala cara akan dilakukan untuk itu Amerika Serikat harus memberikan sinyal sangat kuat bagi Rusia untuk memahami pesan tersebut sehingga mau duduk di meja diplomasi.
Satu hal yang pasti menyenangkan Rusia adalah ‘ditutupnya’ pintu masuk Ukraina ke organisasi pertahanan militer yang beranggotakan negara-negara di Eropa dan Amerika Utara (NATO).
Hal yang selalu jadi kampanye Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.
Trump bahkan perlu mengingatkan Zelensky, yang diberikan Presiden Barack Hussein Obama hanyalah kertas, sebaliknya dia memberikan rudal anti-tank portabel, Javelin.
Baca juga: Starmer: Inggris dan Prancis Akan Jadi Jembatan Perdamaian Ukraina, Siap Berdialog dengan Trump
Fakta juga mencatat, Trump adalah orang yang berbicara keras kepada anggota NATO agar bersiap-siap atas kemungkinan peningkatan eskalasi konflik pasca invasi Rusia ke Krimea.
Dengan menutup pembicaraan perihal bergabungnya Ukraina ke NATO maka Amerika memberikan pesan ke Rusia, Amerika tidak akan menyeret NATO yang menganut prinsip perjanjian pertahanan kolektif.
Harus dicatat, Rusia tidak akan pernah menandatangani perjanjian damai jika Ukraina diterima di NATO.
Kedua, dengan menegosiasikan kesepakatan mineral, Trump memastikan bahwa Amerika akan terlibat dalam industri pertambangan Ukraina. Sepintas ini terlihat licik dan nista karena mengambil keuntungan dari pihak yang susah.
Namun, jika lihat secara netral, dengan menempatkan kepentingan Amerika secara langsung di Ukraina maka hal ini mencegah Rusia melancarkan invasi lebih jauh, karena menyerang Ukraina berarti membahayakan nyawa warga Amerika—sesuatu yang akan memaksa AS untuk meresponsnya.
Ketika perusahaan-perusahaan AS mempunyai operasi pertambangan di Ukraina, Presiden Vladimir Putin harus berpikir belasan kali untuk melakukan serangan tanpa menimbulkan konsekuensi internasional yang besar.
Maka jika dibaca ulang dengan teliti, sebetulnya usulan Prabowo hingga Trump sangat berkorelasi dengan upaya perundingan yang diusahakan agar sama-sama memuaskan kedua pihak (win-win solution).
Meski demikian, tidak bisa dibantah, kesepakatan damai berkonsekuensi tragis bagi wilayah Ukraina yang dicaplok Rusia, terutama Krimea tempat mayoritas Muslim Ukraina yang sejak masa komunis Uni Soviet selalu jadi target dianiaya dan dinistakan.
Penulis: Dr. Algooth Putranto
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Erick Thohir Janji Tak Anakemaskan Sepakbola, Semua Cabor Dapat Perhatian Setara |
![]() |
---|
Prabowo Tak Akan Bentuk Tim Investigasi Independen Demo Berujung Kerusuhan pada Akhir Agustus |
![]() |
---|
Menko Polkam Djamari Chaniago, Eks Sekretaris Dewan Kehormatan Perwira dan Senior Prabowo di Akabri |
![]() |
---|
Ditonton Perwira AS, Rusia dan Belarus Gelar Simulasi Serangan Nuklir yang Bikin NATO Meriang |
![]() |
---|
Megawati Cerita Pernah Masak Nasi Goreng untuk Prabowo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.