Sabtu, 4 Oktober 2025

Blog Tribunners

In Memoriam Artidjo Alkostar: Kembalinya 'Ruh' Hakim yang Agung

JUMAT, 28 Februari 2025 adalah tepat 4 tahun Artidjo Alkostar berpulang ke haribaan Allah SWT. 

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
Foto Tangkapan Layar
DISNA RIANTINA - Co-Founder Equality Law and Human Rights Office/Peneliti Setara Institute bicara soal mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang telah berpulang. 

Oleh: Disna Riantina SH MH
Co-Founder Equality Law Firm Setara Institute

JUMAT, 28 Februari 2025 adalah tepat 4 tahun Artidjo Alkostar berpulang ke haribaan Allah SWT. 

Hakim Agung Mahkamah Agung (2000-2018) kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1948 itu meninggal dunia di Jakarta dalam usia 73 tahun. 

Jenazah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu dimakamkan di Kompleks Pemakaman UII. 

Artidjo yang pensiun dari Hakim Agung pada 22 Mei 2018 itu kemudian menjadi Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2019 hingga meninggal dunia. 

Semasa menjadi Hakim Agung, Artidjo terkenal karena vonisnya yang cenderung memperberat hukuman terhadap terpidana kasus korupsi, dan juga "dissenting opinion" atau pendapat berbeda yang ia keluarkan dalam beberapa perkara besar. 

Termasuk dalam kasus dugaan korupsi yayasan-yayasan milik mantan Presiden Soeharto yang melibatkan penguasa Orde Baru itu.

Ya, Artidjo ikut menangani kasasi kasus korupsi yayasan dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto yang saat itu ketua majelisnya adalah Syafiuddin Kartasasmita, dengan anggota majelis Artidjo Alkostar dan Sunu Wahadi.

Syafiuddin dan Sunu menghendaki perkara dihentikan, namun Artidjo berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan dua hakim tersebut. 

Akhirnya dicapai kompromi.

Soeharto tetap terdakwa, tapi dilepas statusnya sebagai tahanan kota dan dirawat dengan biaya negara. Setelah sembuh, baru dibawa ke pengadilan. Namun Pak Harto tak pernah sembuh hingga akhirnya meninggal dunia. 

Artidjo juga menambah berat vonis politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara dalam kasus korupsi Wisma Atlet. 

Hukuman Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus yang sama juga diperberat oleh Artidjo, dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara.

Pun dalam perkara korupsi Luthfi Hasan Ishaaq, Artidjo memperberat vonis Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. 

Juga dalam kasus percobaan penyuapan komisioner KPK, Artidjo menambah berat vonis terdakwa Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara. 

Selama 18 tahun menjadi Hakim Agung, Artidjo telah menyelesaikan 19.708 perkara. Dalam menangani perkara, Artidjo lebih melihat surat dakwaannya daripada tuntutan jaksa. 

Bagi koruptor, Artidjo adalah momok yang cukup menakutkan. Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengajukan kasasi.

Artidjo berpendapat, putusan pengadilan harus bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat, yang itu memberi harapan supaya masa depan Indonesia tidak suram. 

Kini, "ruh" Artidjo seakan kembali lagi ke dunia ini. "Ruh" itu bersemayam di pengadilan bahkan MA. 

Tepat di saat Indonesia dikonotasikan dalam kondisi gelap. Jazad boleh mati, tapi ruh tak pernah mati. 

Dan pengadilan tempat bersemayamnya "ruh" Artidjo itu adalah Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. 

Diketahui, PT Jakarta memperberat vonis dua terdakwa perkara korupsi yang melibatkan figur publik. 

Yakni Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian, dan Harvey Moeis, suami selebritas Sandra Dewi. 

Diberitakan, MA menolak permohonan kasasi SYL dalam kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian tahun 2020–2023, Jumat (28/2/2025). Hukuman SYL tetap 12 tahun penjara sebagaimana putusan banding.

Putusan kasasi itu diputus oleh Hakim Agung Yohanes Priyana selaku ketua majelis didampingi dua anggota, Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono.

Di tingkat banding, PT Jakarta memperberat vonis SYL menjadi 12 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider empat bulan kurungan, serta uang pengganti Rp44.269.777.204 ditambah 30.000 dolar AS subsider 5 tahun penjara. 

Sebelum itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan kepada SYL, uang pengganti bagi SYL sebesar Rp14,14 miliar ditambah 30.000 dolar AS subsider 2 tahun penjara.

Dalam perkara ini, SYL didakwa melakukan pemerasan atau menerima gratifikasi dengan total Rp44,5 miliar di lingkungan Kementerian Pertanian dalam rentang tahun 2020 hingga 2023.

PT Jakarta juga memperberat vonis Harvey Moeis dari semula 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp210 miliar, menjadi 20 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp240 miliar. 

Harvey Moeis terbukti terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan  PT Timah Tbk tahun 2015-2022, sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun.

Empat tahun sepeninggal Artidjo Alkostar, ternyata masih ada seberkas cahaya harapan di dunia peradilan.

Mungkin karena "ruh" Artidjo kembali ke dunia ini dan bersemayam di PT Jakarta dan MA.

Atau setidaknya para hakim di sana terinspirasi oleh Artidjo Alkostar yang tidak hanya sekadar Hakim Agung, tetapi juga hakim yang benar-benar agung. 

Jika demikian, berarti Indonesia belum benar-benar gelap.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved