Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Polemik UKT di Perguruan Tinggi Negeri

Ironi Uang Kuliah Semakin Mahal, PTN Makin Sulit Diakses Masyarakat Menengah Bawah

Kenaikan UKT tidak hanya di USU, tapi juga banyak kampus perguruan tinggi negeri lain seperti UI, ITB, UGM, Universitas Riau dan Unsoed Purwokerto.

Editor: Choirul Arifin
Tribun Medan/Danil Siregar
Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan aksi protes atas kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di depan Biro Rektor USU, Medan, Rabu (8/5/2024). Dalam aksinya, mahasiswa menolak kenaikan UKT hingga 50 persen. Foto: Tribun Medan/Danil Siregar 

Dari 35 ribuan orang yang mendaftar ikut program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2024, sekitar 14 ribuan lolos test scholastic dan bisa ikut interview, untuk mengambil 4000 orang yang beasiswa-nya akan dibiayai pemerintah di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

Industrialisasi Membentuk SDM

Kisruh biaya saat menjadi mahasiswa akan melahirkan kerepotan baru jika sudah selesai kuliah dan akan memasuki

dunia kerja. Kuliah mahal, setelah tamat malah menganggur. Menurut Kemenaker, di periode Januari-Maret 2024 sudah ada 2.650 pekerja yang terkena PHK di Jawa Barat.

Sedangkan daerah tertinggi yang paling banyak merumahkan pegawainya ada di DKI Jakarta, yakni 8.876 pekerja. Lalu disusul Jawa Tengah sebanyak 8.648 orang.

Angka pengangguran tinggi menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positip antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja.

Link and match ke dunia industri terputus, karena prioritas pada SDA tidak diorientasikan ke industrialisasi dan pendidikan. Industri kita memang belum berkembang, tidak efisien dan berbiaya tinggi.

Ketua Umum Apindo mengatakan terlalu banyak cost mulai dari labor cost, energy cost, logistic cost.

Indonesia masih asyik dengan isu isu hilirisasi, karena ekspor produk atau komoditas primer hasil hutan, tambang dan mineral sebagai sumber pendapatan dan perolehan devisa yang signifikan.

Masalahnya, pendapatan ekspor dari SDA tidak digunakan memacu pertumbuhan industri. Transformasi ekonomi ke industri berjalan lambat.

Pendapatan dari sumber daya alam (SDA) dipakai bayar hutang dan program sosial antara lain bansos, berbagai subsidi atau dana kompensasi energi. Lihat saja, ketika surplus neraca perdagangan, justru kurs rupiah terus terdepresiasi.

Ketergantungan pada produk primer hanya akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, membahayakan kelangsungan perekonomian dalam jangka panjang.

Baca juga: Biaya UKT Tinggi, Pemerintah Diminta Kontrol Biaya Kuliah

Yang untung hanya segelintir orang, penduduk di sekitar tambang pendapatannya malah rendah. Transisi industri gagal menyebabkan tidak ada panggilan kebutuhan untuk peningkatan SDM. Pendidikan, termasuk riset terpinggirkan.

Pasal 8 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2022, “Seleksi secara mandiri oleh PTN dilakukan berdasarkan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.”

Ketentuan di atas bukan hanya amanat UU tapi juga amanat luhur konstitusi, bahwa pendidikan untuk semua. Tapi kenyataannya orang berpunya bisa kuliah, orang miskin tak bisa kuliah.

Kesenjangan pendidikan semakin lebar. Dalam suasana perayaan Hardiknas kita semua masih prihatin, pendidikan tinggi (masih) mahal.

*) Marim Purba adalah mahasiswa Magister Komunikasi Politik Universitas Paramadina. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis

Marim Purba_

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved