Tribunners / Citizen Journalism
Panas Dingin Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024
KPU RI telah mengumkan hasil Pemilu 2024 namun mendapat penolakan dari pihak yang kalah.
Sebelumnya, pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 169 huruf “q” menyebutkan persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Namun dengan
adanya putusan MK No 90/2023 tersebut maka Gibran yang belum genap berusia 40 tahun bisa maju mendampingi capres Prabowo Subianto sebagai calon wakil presidennya karena yang bersangkutan merupakan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, sehingga dianggap telah memenuhi syarat, yaitu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk penilihan kepala daerah.
Ketidakpuasan mencapai puncaknya saat pemungutan suara digelar pada Rabu (14/2/2024) yang memunculkan tuduhan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Tidak menutup kemungkinan, MK dalam membuat pertimbangan hukum dan dalam mengambil suatu putusan terdapat hal-hal yang abnormal.
Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya faktor kepentingan.
Namun jika hal tersebut telah putus dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum, maka kondisi apa pun sudah final dan mengikat bagi seluruh warga negara.
Semua warga negara wajib tunduk dan menghormati putusan tersebut. Walapun secara akademik bisa diperdebatkan, namun
secara kepastian hukum hal itu sudah selesai.
Perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi, Pasal 47 menyebutkan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, serta mengikat semua pihak yang berperkara dan semua warga negara (Indonesia).
Dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat, dengan diubahnya bunyi pasal/ayat pada undang-undang yang diuji, maka peraturan pelaksana yang terkait dengan ketentuan yang sama dengan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Peraturan KPU No 19 Tahun 2023 sepanjang mengatur hal yang sama dengan sendirinya tidak berlaku (tidak perlu adanya perubahan dengan diterbitkannya aturan yang baru).
Jadi, dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang harus dikedepankan adalah pembuktian
autentik terkait adanya kecurangan di saat pelaksanaan pemilu saja, bukan mempermasalahkan putusan MK
atau hal-hal lain yang tidak terkait.
Berdasarkan analisis sementara terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum dengan argumentasi
dan bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berperkara, dan dengan tidak berpihak kepada siapa pun, sepertinya Dewi Fortuna berada di pihak 02.
* Dr Anwar Budiman SH MH, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Putusan MK Soal Pemilu dan Pilkada Tidak Serentak Buka Peluang Anggota DPRD Jabat Lebih 5 Tahun |
![]() |
---|
Catatan DKPP Soal Pemilu dan Pilkada 2024: Bawaslu Tidak Transparan, KPU Tak Profesional |
![]() |
---|
Emisi yang Dikeluarkan Jet Pribadi Sewaan KPU Setara Keliling Bumi 45 Kali Naik Pesawat Komersial |
![]() |
---|
DKPP Bantah Tolak Aduan Jet Pribadi KPU, Sebut Laporan Koalisi Sipil Belum Lengkap |
![]() |
---|
Jokowi dan Moeldoko: Duet Penyelamat PPP di Tengah Kemerosotan Politik Islam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.