Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Masa Jabatan Presiden

Denny Indrayana Kirim Surat Terbuka untuk Jokowi tentang Penundaan Pemilu 2024, Ini Isi Lengkapnya

Sikap presiden yang cenderung membiarkan pembatalan Pemilu 2024 dapat dikenakan delik pengkhianatan terhadap negara.

Editor: Dewi Agustina
Fransiskus Adhiyuda/Tribunnews.com
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana saat ditemui di Kampus Universitas Islam As-Syafi'iyah, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (29/10/2019). 

Maka, pernyataan Bapak Presiden yang di satu sisi menyatakan tunduk dan patuh pada konstitusi, namun pada sisi yang lain memberi ruang wacana penundaan pemilu bergulir dengan alasan konsekuensi berdemokrasi adalah sikap mendua yang keliru dan fatal.

Sikap tunduk dan patuh harusnya dikunci dengan pernyataan, stop membicarakan pembatalan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Titik. Hitam-putih. Jangan dibuka ruang abu-abu. Jangan dibuka ruang tafsir yang lain.

Memberi koma pada pernyataan itu, dengan tetap mengizinkan mendiskusikannya--seolah-olah menghormati kebebasan berpendapat, tetapi sejatinya memberi kesempatan pikiran liar itu mengalir, tanpa tindakan tegas menghentikan.

Padahal sudah jelas, usulan pembatalan pemilu yang dibiarkan, seolah-olah menemukan pembenarannya melalui perubahan UUD 1945.

Karena itu, saya membaca kalimat Presiden Jokowi banyak sayap dan maknanya. Satu sisi, taat dan tunduk pada konstitusi, sisi lain membiarkan usulan penundaan pemilu tetap berkembang dengan alasan demokrasi.

Padahal jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan penundaan pemilu itu dicari akal-akalannya melalui perubahan UUD.

Karena itu, saya membaca kalimat bersayap, “Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi”.

“Sudah pada pelaksanaan” dalam kalimat itu, bisa bermakna pelaksanaan pasca konstitusi yang diakal-akali untuk diubah, yang melegitimasi pembatalan pemilu dan memperpanjang masa jabatan.

Sudah jamak kita baca, ada yang mengatakan, kalaupun usulan penundaan ingin dilaksanakan, maka harus mengubah dulu UUD 1945.

Padahal pendapat demikian pun adalah salah. Konstitusi pilar utamanya adalah konstitusionalisme, pembatasan atas kekuasaan.

Usulan pembatalan pemilu, menjabat dan memperpanjang kuasa tanpa pemilu, jelas menabrak prinsip limitation of powers.

Pelanggaran prinsipil demikian tidak menjadi benar, meskipun dikonstitusikan sekalipun.

Kejahatan tidak menjadi benar, bahkan jika disahkan dengan aturan hukum. Maaf, memperkosa tidak menjadi sah, bahkan jika ada undang-undang yang melegitimasinya.

Perkosaan adalah kejahatan, maka undang-undang yang dibuat untuk mengesahkannya harus batal demi hukum itu sendiri. Karena hukum tidak boleh disalahgunakan untuk mengesahkan kejahatan.

Demikian juga dengan konstitusi. Membatalkan pemilu dan memperpanjang masa jabatan adalah pelanggaran telanjang atas konstitusi, sehingga sama sekali tidak bisa dibenarkan, bahkan dengan mengubah aturan konstitusi itu sendiri.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved